Bagaimana bukan rimba raya jika putusan hakim untuk perkara yang sama tidak saja berlainan, melainkan saling bertentangan. Hakim sebagai sang raja rimba dapat memutuskan apa saja tanpa perlu memperhatikan logika hukum, putusan hakim lain, apalagi memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Putusan terhadap perkara mantan hakim agung M. Yahya Harahap serta dua hakim agung Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto menjadi satu contoh nyata mengenai hal itu.
Dalam perkara korupsi dengan terdakwa mantan hakim agung M. Yahya Harahap, majelis hakim yang diketuai oleh Panto Albianto Sianipar memutuskan bahwa terdakwa tidak dapat diadili atas dasar UU No 3 Tahun 1971. Alasan Panto yang juga Ketua PN Jakarta Barat, proses penyidikan terjadi setelah berlakunya UU No 31 Tahun 1999. Sementara UU No 31 Tahun 1999 tidak memuat aturan peralihan.
Terlepas dari logika hakim yang absurd dan tidak masuk akal, karena hal ini berarti semua pelaku korupsi yang terjadi pada periode 1998-1999 tidak dapat dipidana, putusan itu tidak konsisten dan bertentangan dengan putusan-putusan lain dalam perkara yang sama.
Putusan saling bertentangan
Salah satu putusan itu adalah putusan praperadilan terhadap penyidikan Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam putusannya, hakim yang memenangkan kedua pemohon praperadilan itu menyatakan bahwa "Karena kejadian yang dituduhkan terjadi sekitar September, Oktober dan November 1998, maka yang diberlakukan terhadap pemohon mestinya adalah Pasal 420 ayat 1 KUHP atau UU No 3 Tahun 1971 bukan UU No 31 Tahun 1999 yang berlaku sejak 16 Agustus 1999 tersebut".
Sementara itu, walaupun menolak dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dengan terdakwa Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto, majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang diketuai oleh Rusdi As'ad yang juga Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menolak eksepsi penasehat hukum tentang ketidakberlakuan UU No 31 Tahun 1971 dalam perkara ini.