Indonesia sebagai salah satu anggota WTO tidak bisa lari begitu saja dari perjanijan yang telah ditandatangani sejak tahun 1991. Karena itu, perlu dibangun satu titik temu di kalangan pengusaha, regulator, dan akademisi. Pasalnya, transaksi yang berjalan tidak lagi dilakukan secara tradisional.
Transaksi online tidak akan terlepas dari resiko yang disebabkan keterbukaan sistem dalam teknologi informasi itu sendiri. Masalah keamanan (security) dalam transaksi online dan pemanfaatan teknologi informasi hingga kini masih menimbulkan keraguan di benak masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Putu Suryawirawan dari Direktorat Jenderal Logam, Listrik, Mesin, Elektronik dan Industri Aneka Depperindag. Menurutnya, salah satu keraguan dalam masyarakat disebabkan oleh kurangnya sosialisasi atas penggunaan media online dalam transaksi.
Putu menyoroti masalah belum adanya perundangan khusus mengenai kegiatan transaksi e-commerce. "Hal ini menjadi bagian terpenting, mengingat transaksi online sangat rentan dengan resiko pencurian dan lain sebagainya," kata Putu.
Indonesia memang tertinggal dengan negara lain, seperti Singapura dan Malaysia, yang telah memiliki cyberlaw, digital signature, dan data encryption. Inisiatif dan bantuan dari berbagai dari organisasi dunia dalam menyiapkan legal infrastructure akan sangat membantu. "Koordinasi antar pengusaha, regulator, dan akademisi merupakan kekuatan dalam memberikan kepastian hukum dalam berinvestasi," tegas Putu.
Mendongkrak pelaku bisnis
Kepastian hukum dalam berinvestasi pada akhirnya akan mendongkrak pelaku bisnis dalam melakukan kegiatan usaha. Otomatis, hal ini akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pemerintah, selaku regulator, sudah sepatutnya sesegera mungkin untuk mengundangkan peraturan tersebut.
Depperindag telah berusaha untuk mengupayakan hal ini. Kabarnya, draf rancangan undang-undang mengenai transaksi elektronik dan tanda tangan digital akan selesai pada pertengahan 2002.