Penggusuran Paksa Tergolong Pelanggaran Berat HAM
Berita

Penggusuran Paksa Tergolong Pelanggaran Berat HAM

Komisi Nasional Perempuan mengeluarkan seruan kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengenai tindakan penggusuran secara paksa sebagian warga yang bermukim di berbagai wilayah ibu kota. Dalam seruan tersebut, Komnas Perempuan mengingatkan Sutiyoso bahwa PBB mengkategorikan penggusuran paksa sebagai pelanggaran berat HAM.

Oleh:
Amr/APr
Bacaan 2 Menit
Penggusuran Paksa Tergolong Pelanggaran Berat HAM
Hukumonline

Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengeluarkan seruan kepada Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso agar menghentikan selama 100 hari (moratorium) tindakan pengusiran paksa yang dilakukan aparatnya.

Komnas Perempuan mengatakan bahwa tindakan pembongkaran rumah penduduk miskin kota yang ditandai dengan kekerasan itu melanggar hak warga akan perumahan yang memadai.

Selama dua pekan terakhir ini, aparat Pemda DKI Jakarta memang melakukan penggusuran terhadap rumah-rumah petak di beberapa lokasi di Jakarta. Sayangnya, aparat melakukan kekerasan terhadap masyarakat kecil yang tidak berdaya karena rumahnya tergusur.

Melanggar Resolusi PBB

"Seruan penghentian tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sekolah, bangunan, rumah dan tempat ibadah dihancurkan (dibakar)," tulis Ketua Komnas Perempuan, Saparinah Sadli dalam siaran persnya (14/11). Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Indoneisa telah menandatangani Konvensi Perlindungan Hak Anak dan Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Selain itu, mereka juga mengingatkan bahwa Komisi HAM PBB dalam Resolusi  1993/77a, 1993/77 tentang Forced Eviction (panggusuran secara paksa) adalah pelanggaran berat HAM, terutama hak akan tempat tinggal yang memadai.

Ia juga mengungkapkan bahwa berbagai tindakan yang dilakukan aparat pemda DKI itu mengakibatkan banyak perempuan dan anak yang dilanggar haknya akan rasa aman dan nyaman serta hak atas pendidikan bagi anak yang digariskan UUD '45.

Selama moraturium berlangsung, Komnas Perempuan mendesak Sutiyoso dan Pemda DKI serta pemerintah pusat agar mengadakan dialog konstruktif bersama semua pihak yang terlibat (stakeholders). Dalam dialog tersebut, diharapkan dapat ditemukan alternatif pemecahan yang menghormati sepenuhnya hak asasi manusia seperti dimuat dalam pasal 28h, 28g, dan 28h UUD '45.

Tags: