Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)
Kolom

Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi (II)

Dalam tiga dekade terakhir ini, konflik kepentingan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju telah terpusat pada masalah perdagangan antarnegara. Konflik ini dipicu oleh pandangan yang berbeda antara negara berkembang dan negara maju.

Bacaan 2 Menit
Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan Ekonomi  (II)
Hukumonline

Di satu sisi, negara berkembang cenderung mengambil kebijakan yang menghambat masuknya barang dan jasa dari pelaku usaha asing, utamanya dari negara maju. Sebagai negara berdaulat, negara berkembang tentunya sah-sah saja apabila menerapkan berbagai 'hambatan' tersebut. Alasan yang sering dikemukakan adalah untuk melindungi lapangan kerja, sebagai sarana untuk memproteksi industri bayi, dalam rangka memperkuat pelaku usaha nasional, hingga mendapatkan devisa.

Di sisi lain, negara maju menghendaki agar tidak ada hambatan yang diberlakukan oleh negara, termasuk yang diberlakukan oleh negara berkembang. Tidak adanya hambatan diidentikkan dengan perdagangan bebas (free trade) yang berarti tidak adanya diskriminasi dari mana barang atau jasa berasal. Pasar menjadi penting karena produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha dari negara maju harus dibeli. Pasar yang potensial bagi barang dan jasa dari pelaku usaha negara maju ada di negara berkembang.

Ada beberapa alasan mengapa demikian. Pertama, konsumen di negara berkembang biasanya belum terbentuk. Konsumen di negara berkembang sangat senang dengan barang- barang yang berasal dari negara maju. Kedua, dari segi jumlah penduduk, negara berkembang sangat potensial. Jumlah penduduk negara berkembang sangat fantastis bila dibandingkan dengan jumlah penduduk di negara maju. Hanya saja, kelemahan konsumen di negara berkembang adalah rendahnya daya beli mereka.

Dari dua perspektif di atas, terjadi tarik ulur kepentingan. Bagi negara berkembang, mereka dengan mudah menentukan hambatan dengan cara memberlakukan perundangan nasional. Sementara bagi negara maju, pertanyaan muncul bagaimana cara mereka dapat menghapuskan berbagai hambatan yang dibuat oleh negara berkembang?  Sudah pasti negara maju tidak mungkin memerintahkan negara berkembang untuk mencabut berbagai hambatan tersebut layaknya hubungan antara negara penjajah dan negara jajahan.

Alternatif yang paling mungkin adalah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan yang untuk kemudian dituangkan dalam perjanjian internasional. Apabila negara berkembang turut serta dalam perjanjian internasional dimaksud, maka mereka akan terikat untuk melaksanakannya. Pada gilirannya, mereka akan menghapuskan berbagai hambatan atas barang dan jasa dari luar negeri. Negara maju tidak jarang memberi pemanis berupa hibah, pinjaman dan lain sebagainya bagi negara berkembang agar mereka mau ikut dalam suatu perjanjian internasional.

Perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang telah diupayakan oleh negara maju, di antaranya adalah General Agree­ment on Tarifs and Trade (GATT), Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO), Agreement on Agriculture, Agree­ment on Trade-Related Investment Measures (TRIMS), dan Agree­ment on Trade- Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan lain-lain.

Upaya negara maju untuk meneguhkan prinsip perdagangan internasional yang mereka yakini mendapat reaksi dari negara berkembang. Sudah sejak lama, negara berkembang memperjuangkan diubahnya prinsip tradisional perdagangan internasional. Bagi negara berkembang yang umumnya sedang bergulat dengan masalah pertumbuhan ekonomi, mereka tidak setuju apabila ekonomi pasar diberlakukan begitu saja dalam perdagangan intemasional. Untuk itu, pada sidang United Nations Conference on Trade and Develop­ment (UNCTAD) pertama tahun 1964, dikemukakan tentang perlunya prinsip perlakuan preferensi (preferential treatment) dan non­resiprositas untuk diberlakukan.

Tags: