Penahanan Syahril Sesuai Prosedur Hukum
Berita

Penahanan Syahril Sesuai Prosedur Hukum

Jakarta, hukumonline. Jaksa Agung Marzuki Darusman membantah bahwa penahanan terhadap Gubernur BI (nonaktif) Syahril Sabirin tidak didasarkan alasan hukum. Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, Jaksa Agung memerintahkan penahanan Syahril karena dikhawatirkan akan merusak/menghilangkan barang bukti dan melakukan tindak pidana lagi.

Oleh:
Tri/Rfl
Bacaan 2 Menit
Penahanan Syahril Sesuai Prosedur Hukum
Hukumonline

Hal itu terungkap dalam lanjutan sidang praperadilan Gubernur BI (nonaktif) Syahril Sabirin hari ini (24/8) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sidang mendengarkan duplik dari termohon (Jaksa Agung) atas replik pemohon (Syahril Sabirin). Sidang kali ini dihadiri sendiri oleh Syahril sesuai permintaan kuasa hukumnya, Abdul Hakim Garuda Nusantara.

Dalam dupliknya, Jaksa Agung tetap pada jawabannya yang dibacakan pada 22 Agustus lalu. Pertama, penahanan yang dilakukan terhadap diri Syahril didasarkan pada penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik termohon. Syahril diduga melakukan tindak pidana dalam kasus korupsi Bank Bali (BB) dan telah ditemukan bukti yang cukup bahwa Gubernur BI itu dapat disidik sebagai tersangka.

Karena itu, Jaksa Agung lantas menerbitkan dua surat perintah penyidikan, yaitu surat perintah pemeriksaan No. Prin-71/Fpk.1/6/2000 tanggal 5 Juni 2000, dan surat perintah pemeriksaan No. Prin-76/Fpk.1/6/2000 tanggal 23 Juni 2000, yang ditandatangani oleh Direktur Penyidikan Kejagung, Ris Sihombing.

Kedua,

telah diketemukan dengan jelas tentang dasar atau wewenag dan keperluan untuk melakukan penahanan terhadap diri tersangka. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, penahanan terhadap tersangka dapat dilakukan bila ada kekhawatiran yang bersangkutan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.

Kekhawatiran itu beralasan mengingat posisi Syahril sebagai Gubernur BI. Syahril bisa saja memerintahkan untuk merusak atau menghilangkan barang bukti berupa surat-surat dari kantor BI.

Selain itu, Jaksa Agung khawatir tersangka akan melakukan tindak pidana lagi karena saksi-saksi yang akan diperiksa adalah pegawai BI, yang nota bene bawahan pemohon. Termohon khawatir pemohon akan mempengaruhi bawahannya untuk mempersulit penyidikan.

Menghilangkan barang bukti, menghalangi dan mempersulit penyidikan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana berdasarkan Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara mempengaruhi saksi untuk memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan adalah tindak pidana berdasarkan Pasal 262 KUHAP.

Diintimidasi

Dalam sidang itu, termohon menyangkal dalil pemohon, bahwa dirinya tak boleh dijadikan terdakwa karena sudah diajukan sebagai tersangka dalam kasus Joko S Tjandra dan Pande Lubis, yang juga berkait dengan masalah Bank Bali.

Menurut kuasa hukum termohon, bila menerima suatu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141 KUHAP, penuntut umum dapat menuntut terdakwa secara terpisah. Hal ini dapat dilihat dalam putusan MA No. 734/Pid/95/MARI tanggal 29 September 1995 atas nama terdakwa Drs. Subekti bin Ismaun dalam kasus korupsi Bappindo.

Di samping mendengar duplik dari termohon, sidang praperadilan Syahril Sabirin juga akan memeriksa saksi-saksi yang diajukan oleh pemohon dan pemeriksaan alat bukti berupa surat dan dokumen. Tapi, empat orang saksi yang diajukan oleh pemohon tidak hadir, yaitu: Todung Mulya Lubis, Soebardjo Djoyosumarto, dan dua orang sekretaris dari BI.

Menurut keterangan kuasa hukum pemohon, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Todung tidak dapat hadir karena hanya mau hadir jika mendapat panggilan dari pengadilan. Sementara saksi Soebardjo sedang menghadiri suatu acara di Kuala Lumpur, Malaysia. Dua saksi lain, menurut Abdul Hakim, tak perlu dihadirkan karena kesaksiannya hanya pelengkap kesaksian Todung dan Soebardjo.

Pada persidangan ini, kuasa hukum Syahril menyerahkan bukti berupa transkrip pembicaraan antara pemohon dan termohon yang berisi intimidasi agar pemohon mengundurkan diri dari jabatannya. Pemohon menyampaikan permohonan untuk diperdengarkan rekaman pembicaraan antara pemohon dan termohon, tapi ditolak. Sebab, tak ada perbedaan prinsipil antara transkrip dan rekaman.

Kepada pers usai sidang, Syahril mengatakan bahwa transkrip tersebut adalah benar. Ia kembali menegaskan dirinya sudah ditekan dan diintimidasi oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bila tidak, akan menjadi tersangka dalam kasus Bank Bali.

Pada kesempatan yang sama, kuasa hukum Jaksa Agung, Jan Mere, SH., mengatakan bahwa saat ini pihak kejaksaan telah mengadakan perpanjangan penahanan atas diri Syahril dan sudah ada penetapan dari Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat

Sidang hari ini juga mendengarkan kesimpulan akhir secara lisan dari pemohon dan termohon, bahwa masing-masing pihak tetap bertahan pada jawabannya. Sidang yang dipimpin hakim Rusman Dani, SH. ini akan dilanjutkan Senin, 28 Agustus 2000, untuk mendengarkan putusan.

Tags: