Jasa VoIP Internasional Bakal Dilarang
Berita

Jasa VoIP Internasional Bakal Dilarang

Jakarta, hukumonline. Harapan bagi operator VoIP (Voice Over Internet Protocol) internasional hampir pupus. Penyelenggaraan jasa VoiP atau telepon via internet hanya diselenggarakan dengan cakupan nasional. Konsumen buntung, lalu siapa yang mengambil untung?

Oleh:
APr
Bacaan 2 Menit
Jasa VoIP Internasional Bakal Dilarang
Hukumonline

Ketentuan mengenai penyelenggaraan jasa VoIP dengan cakupan nasional itu termuat dalam Pasal 79 Rancangan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Rancangan ini merupakan hasil pembahasan Kepmen Perhubungan di Topas, Bandung pada 18 Agustus 2000.

Sekilas memang tidak ada yang janggal dengan ketentuan ini. Artinya, operator jasa VoIP masih bisa beroperasi, tetapi dibatasi untuk wilayah nasional. Dengan kata lain operator VoIP internasional tidak diperkenankan beroperasi.

Dengan ketentuan ini, bakal tidak ada lagi celah bagi operator VoIP internasional. Sebelum adanya Kepmenhub ini, pada Juni 2000 tim instansi terkait melakukan penggerebekan terhadap operator VoIP di Jakarta dan Surabaya karena dianggap beroperasi secara illegal.

Tim gabungan dari Indosat, Telkom, Ditjen Postel, Dephub DKI Jaya, dan Polda Metro Jaya ini melakukan penggerebekan berbekal Pasal 11 dan 12 UU no. 3 Tahun 1989 tentang hak ekslusivitas Indosat untuk Sambungan Langsung Internasional (SLI) dan Telkom untuk sambungan lokal dan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ).

Lebih murah

Operator VoIP dianggap melanggar ketentuan tersebut karena melakukan percakapan telekomunikasi untuk SLI. Teknologi VoIP mampu menghantar suara dengan kualitas sekelas handphone dan nantinya akan seperti telepon biasa. Nah, yang lebih penting, konsumen bisa membayar jauh lebih murah.

Bayangkan konsumen hanya membayar sekitar Rp1.500 per menit untuk berbicara dengan koleganya di AS. Sementara jika menggunakan SLI dikenakan tarif sekitar Rp 8.300 per menit. Tidak heran bila layanan jasa VoIP ini diminati banyak konsumen.

Larinya konsumen ke jasa VoIP ini jelas membuat Indosat gerah. Pasalnya setelah operator VoIP beroperasi, jelas pendapatan Indosat melorot. Wajar jika kemudian Indosat kemudian mengajukan protes, sehingga operator VoIP pun dibredel.

As'ad Yusuf, praktisi hukum Teknologi Informasi (TI), melihat ketentuan yang mengatur jasa VoIP diselenggarakan dengan cakupan nasional sangat aneh. Bahkan, ketentuan ini dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Dalam Pasal 2 UU Nomor 36 Tahun 1999 disebutkan bahwa telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan azas manfaat, adil, dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan diri sendiri. Dengan azas adil dan merata, penyelenggaraan telekomunikasi memberikan perlakuan sama kepada masyarakat. Atau dengan kata lain, tarif terjangkau oleh masyarakat luas.

Tidak sejalan

As'ad berpendapat Undang-undang Telekomunikasi-nya sudah baik, tetapi peraturan pelaksananya tidak sejalan. "Kalau dilanggar berarti sudah bertentangan dengan UU-nya," ujar As'ad dari PT Cyberindo Aditama kepada hukumonline.

Menurut As'ad, jasa VoIP cocok untuk negara kepulauan seperti Indonesia. Oleh karena itu, ia menyayangkan jasa VoIP ke luar negeri itu tidak diperbolehkan. "Ini suatu kemunduran," cetusnya. Ia menambahkan, China yang dulu melarang, kini malah membolehkan kembali penyelenggaraan jasa VoIP.

As'ad juga menyayangkan, pemerintah sering kurang terbuka dalam membuat kebijakan, sehingga sering tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat. Dengan larangan jasa VoIP internasional, artinya masyarakat tidak dapat mendapatkan dengan akses informasi dengan biaya murah. "Seharusnya ini diserahkan kepada mekanisme pasar."

Dengan ketentuan ini, jelas Telkom dan Indosat akan diuntungkan. Penyelenggara jasa telekomunikasi ini tidak terusik oleh kompetitor lain. Apalagi setelah Telkom nantinya mengelola SLI juga. Apakah ketentuan ini memang bertujuan untuk memagari pemain lain?

Namun yang jelas peraturan ini menghambat perkembangan teknologi telekomunikasi yang lebih murah. Sayang, konsumen yang sebenarnya dirugikan belum bereaksi. Kalau ada teknologi lain yang lebih murah, kenapa harus membayar lebih mahal? Jadi dari pada dibatasi, ada baiknya dibebaskan sesuai mekanisme pasar.

Tags: