Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Kolom

Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah

Sektor pertambangan Indonesia pernah menjadi primadona. Banyak investor asing menggali kekayaan alam dari dalam perut bumi pertiwi, sehingga gemerincing dollar pun banyak masuk ke pundi kas negara. Namun kini pada era otonomi daerah, bisnis pertambangan tengah di persimpangan jalan. Tarik menarik pusat dan daerah sangat kuat dalam pengelolaan pertambangan. Dalam era transisi, investor menunggu kepastian hukum di sektor pertambangan.

Bacaan 2 Menit
Tarik Ulur Pengelolaan Pertambangan di Era Otonomi Daerah
Hukumonline

Indonesia pernah jaya dalam bisnis pertambangan dunia. Sebelum badai krisis ekonomi menerpa, Indonesia pernah tercatat sebagai produsen timah nomor dua di dunia, produsen nikel nomor lima, produsen tembaga nomor tiga, dan penghasil emas nomor sembilan dunia. Bumi Indonesia sangat kaya akan mineral, sehingga investor asing pun banyak yang mengincar sektor pertambangan Indonesia. Apalagi saat itu, kondisi keamanan pun amat mendukung bagi investor.

Namun, kondisi mulai berubah setelah terjadi perubahan ekonomi dan politik nasional. Kini, masa depan industri pertambangan sedang menghadapi masa suram karena adanya pukulan ganda secara beruntun yang menerpa bisnis pertambangan. Pada 2000 saja, sudah ada 25 perusahaan penambangan yang meminta agar kontrak karyanya ditangguhkan. Permintaan penundaan kontrak karya ini sebagian besar datang dari KK generasi VI dan VII yang baru berumur tiga tahun

Padahal perusahaan penambangan telah banyak menanamkan investasi. Gara-gara menghentikan eksplorasi, jadwal konstruksi dan produksi pun ikut tertunda. Perusahaan pertambangan asing ini menunda operasinya dalam jangka pendek karena merasa iklim investasi dan perundangan yang ada tidak lagi mendukung operasionalnya. Apalagi harga komoditas pertambangan di pasar dunia juga kerap berfluktuasi.

Dari catatan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM), sudah ada 7 perusahaan pertambangan yang sudah meninggalkan Indonesia. Jika makin banyak investor asing yang cabut, tentu saja Indonesia akan kehilangan pemasukan kas negara. Berdasarkan Survei Pertambangan Indonesia (SPI) pada 2000, Indonesia akan kehilangan sedikitnya ASS8,5 miliar dari pemasukan devisa dari sektor pertambangan. Kontribusi makin menciut karena semakin sedikit perusahaan yang memberikan royalti dan setoran pajak dari laba bersih mereka.

Tantangan berat yang dihadapi bisnis pertambangan Indonesia pada saat ini dan di masa depan adalah otonomi daerah. UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah membuka peluang bagi daerah untuk mengelola sumberdaya alam.  UU ini menyangkut desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom, yaitu pemerintahan daerah/kota.

Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa daerah mempunyai kewenangan utuh dan bulat dalam menyelenggarakannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi untuk bidang-bidang tertentu. Selain itu, perolehan pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan sumberdaya alam pertambangan sudah pula diatur dalam penjelasan  UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Investor masih menunggu pelaksanaan dari UU Pemerintah Daerah. Walaupun sudah ada PP No. 25/2000 sebagai penjabaran UU Otonomi Daerah, belum menjadi jaminan untuk menarik modal asing. Apalagi Keppres yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah sampai sekarang belum selesai. Karena itu, banyak yang memperkirakan  investasi di sektor pertambangan akan menurun dalam dua tiga tahun ini. Kini masalahnya, bagaimana menyiasati berbagai kendala dan tantangan otonomi daerah sambil mencari peluang di masa depan?

Halaman Selanjutnya:
Tags: