BPHN Akan Kerdil Kalau Tetap di Eksekutif
Berita

BPHN Akan Kerdil Kalau Tetap di Eksekutif

Jakarta, hukumonline. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) akan lebih mandiri jika lebih diberdayakan. BPHN dinilai akan tetap kerdil kalau tetap di eksekutif.

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
BPHN Akan Kerdil Kalau Tetap di Eksekutif
Hukumonline

Gagasan untuk lebih memberdayakan BPHN dikemukakan oleh Prof. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH pada hari ke-II Seminar Acces To Legal Information yang diselenggarakan oleh BPHN bekerjasama dengan Centre For International Legal Cooperation (CILC). Idealnya, BPHN harus setingkat dengan Bappenas.

Sunaryati, mantan Kepala BPHN, berpendapat bahwa fungsi BPHN harus dikaitkan dengan DPR, terutama fungsi DPR untuk menyusun RUU sebagaimana disuarakan dalam Sidang Tahunan MPR 2000. Dalam rangka hak DPR untuk mengajukan RUU, diperlukan suatu lembaga profesional yang melakukan persiapan untuk itu. "Kalau BPHN tetap di eksekutif akan tetap kerdil karena intinya ada di Depkumdang,"

Sunaryati menyoroti keharusan BPHN untuk membuat naskah akademis atas suatu permasalahan yang akan diajukan menjadi RUU. "Padahal pada masa pemerintahan Habibie, begitu banyak UU yang dihasilkan tanpa harus melalui proses pembuatan naskah akademis yang dilakukan BPHN," jelas Sunaryati yang sekarang menjabat Wakil Ketua Komisi Ombudsman Nasional.

Menanggapi gagasan tersebut, Prof. Dr. Bagir Manan, SH berpendapat hal tersebut harus dipelajari terlebih dahulu. "Apa memang benar kalau BPHN di eksekutif akan kerdil, kalau di DPR akan besar"? tanya Bagir.

Bagir menambahkan bahwa selama ini BPHN hanya berfungsi sebagai lembaga yang menjadi perumus kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Padahal seharusnya BPHN dikembangkan menjadi tempat kegiatan penelitian yang sifatnya ilmiah. "Personel-personel BPHN seharusnya akan keluar menjadi peneliti-peneliti yang handal. Jangan seperti sekarang, mereka paling-paling hanya menjadi sekretaris proyek," komentar Bagir.

Akses hukum

Sunaryati Hartono dalam makalahnya menyampaikan bahwa dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, syarat yang biasanya dilupakan untuk mewujudkan supremasi tersebut adalah tersedianya informasi hukum secara mudah, cepat, dan tepat (acces to law) bagi semua dan setiap orang.

"Apabila kita benar-benar ingin mewujudkan azas supremasi hukum di Indonesia, caranya dengan mengaktifkan dan mengefektifkan sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum merupakan conditio sine quanon," kata Sunaryati.

Tristam Moeliono SH, panelis lain menyatakan bahwa saat ini informasi hukum menjadi komoditas perdagangan yang sangat menguntungkan. Oleh karena itu dijaga ketat, baik oleh birokrat maupun praktisi hukum.

Menurut Tristam, bila ingin sukses kantor-kantor hukum bersaing harus memiliki keuntungan komparatif berupa akses yang lebih handal dan lebih cepat terhadap pembuat peraturan perundang-undangan. "Kantor-kantor hukum yang besar hanya kita temukan di Jakarta, karena di daerah kesulitan untuk mengakses informasi," ujarnya.

Praktisi hukum, Frans Hendra Winarta, SH LLM, yang juga menjadi panelis menekankan pada pentingnya dibuat suatu terjemahan resmi dan standar atas peraturan-peraturan yang dibuat selama masa pemerintahan kolonial Belanda. Setidaknya, harus ada kamus hukum yang diakui dan direkomendasikan oleh pemerintah yang isinya merupakan terjemahan yang akurat atas istilah-istilah hukum yang berbahasa Belanda.

Sayangnya, Frans menambahkan bahwa sekarang ini ada tendensi bahwa mahasiswa dan sarjana hukum lebih memilih untuk mempelajari bahasa Inggris dari pada bahasa Belanda yang justru merupakan bahasa induk dari sistem hukum Indonesia.Hal tersebut disebabkan karena sistem hukum dan ekonomi sekarang ini sangat dipengaruhi oleh sistem common law yang dikembangkan oleh Amerika dan Inggris.

Tags: