Menyongsong Pembentukan Peradilan HAM di Indonesia
Kolom

Menyongsong Pembentukan Peradilan HAM di Indonesia

Masyarakat kita telah dijanjikan akan dapat segera mengikuti jalannya Peradilan HAM di Indonesia. Giliran pertama adalah pengadilan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur dan Tanjung Priok, dalam bentuk pengadilan HAM ad hoc, yang telah dikukuhkan lewat Keppres pada 1 Agustus lalu.

Bacaan 2 Menit
Menyongsong Pembentukan Peradilan HAM di Indonesia
Hukumonline

Semua pihak penegak hukum; hakim, jaksa, dan pembela harus berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan atau menunjukkan bahwa pengadilan HAM yang akan digelar itu memiliki integritas tinggi. Dalam arti, benar-benar telah menjalankan proses peradilan (due process) secara cermat, jujur, obyektif, dan adil (fair trial). Dalam rangka ini, ketiga fungsionaris harus mempertaruhkan kehormatannya.

Upaya menjalankan proses peradilan HAM Timtim ini adalah batu ujian dan menjadi standar kriteria bagi bangsa Indonesia untuk membuktikan dirinya sejajar dengan bangsa beradab dunia. Maka, upaya peradilan harus dilihat sebagai ikhtiar yang terus menerus dari bangsa Indonesia untuk memajukan HAM dl Indonesia, bukan semata-mata karena tuntutan dan desakan dari pihak asing.

Memang, pembentukan pengadilan ini, termasuk mempersiapkan infrastrukturnya, memerlukan waktu panjang untuk studi. Di samping itu, persiapan pengadilan HAM ini berada di bawah tekanan opini publik yang telah menempatkan kasus pelanggaran HAM ini sedemikian dramatis. Sementara bahan-bahannya minim untuk dlgali dan dijadikan fakta hukum. Infrastruktur yang telah berhasil dibuat adalah:

a. UU HAM No 39 /1999 tentang Hak Asasi Manusia.

b. UU No. 20 tahun 20000 tentang Pengadilan HAM, termasuk Pengadilan Ham ad hoc.

c. Pemilihan hakim-hakim dan jaksa ad hoc.

d. Training secara intensif kepada jaksa dan hakim pengadilan HAM.

Asas non-retroaktif vs. general principles of law

Sehubungan dengan Amandemen Kedua UUD 45, Pasal 28 i yang intinya menjamin asas non-retroaktif, menurut hemat saya pribadi, ini tldak menjadi masalah. Mengapa? Karena ketentuan tersebut secara normatif memang sudah berlaku di negara kita sejak dulu, tertulis atau tidak di dalam Undang-undang Dasar. Sebab hal itu, sudah merupakan azas yang berlaku umum dalam hukum (general principles of law).

Dalam ketentuan lama sebelum PD II, Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB 30 April 1847 S.23) azas non-retroaktif tersebut sudah secara ekspllsit disebutkan kurang lebih sebagai berikut: "Undang-undang hanya mengikat ke depan, dan mengikat ke belakang." Juga Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menetapkan dalam Pasal 1 ayat 1 bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya (azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali).

Maka, ketentuan dalam Pasal 28 i tersebut, hanyalah penegasan kembali kepada azas yang sudah berlaku selama ini. Sekalipun demikian, azas retroaktlf pada Pengadilan HAM ad hoc, ternyata secara khusus sudah disetujui oleh pembentuk Undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk diberlakukan pada Pengadilan HAM. Hal ini berarti bahwa rakyat Indonesia telah menerima /menyetujui dengan ikhlas diberlakukannya azas retroaktif terhadap pelanggaran HAM berat tertentu saja, yaitu kasus Tanjung Priuk dan Timor Timur, sehingga tidak berlaku umum. Hal inl sesuai dengan perkembangan ilmu hukum dunia, di mana setelah Perang Dunla II dalam kasus-kasus tertentu; Tokyo, Nuremberg, asas retroaktif dapat diterima dan diberlakukan.

Mengenai pengusulan pengadilan ad hoc harus melalui DPR, adalah konsekuensl logis dari pemberlakuan asas retroaktif. Pemberlakuan secara khusus ini tentunya memerlukan persetujuan rakyat Indonesia. Maka, dalam hal ini, DPR lah yang dianggap wakil rakyat yang mengusulkannya. Hal ini juga mencegah pemerlntah/eksekutif bertindak sewenang-wenang membentuk pengadilan HAM untuk kepentingan politik sesaat atau atas desakan masyarakat yang sangat heterogen kepentingannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: