Demi Waktu dan Roda Kehidupan yang Bergulir
Tajuk

Demi Waktu dan Roda Kehidupan yang Bergulir

Roh jahat tidak pernah mati. Begitu juga yang hidup dalam jasad dan kalbu Rahwana. Rahwana bisa dikalahkan. Dan kerajaan Alengka yang sarat dengan pikiran licik, olah kejahatan, dengki, dan keangkara-murkaan bisa dilumpuhkan, bertekuk lutut di hadapan jelmaan kebenaran dan keadilan, Sri Rama dan pasukan keranya.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Demi Waktu dan Roda Kehidupan yang Bergulir
Hukumonline

Karena Rahwana immortal, Hanoman-pahlawan lambang pengabdi kebenaran dan ketertindasan-  menelikung Rahwana dan menjepitnya di antara dua gunung batu jelmaan korban-korban kejahatan Rahwana. Rahwana terbelenggu untuk sisa hidupnya, tapi dari mulutnya keluar gelembung liur hawa nafsu kejahatan, berlaksa-laksa, dan bergelombang melayang merasuki dunia dengan diam-diam, menyebarkan benih-benih kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, dengki,  dan angkara murka baru. Kejahatan memang immortal. Ia ada di setiap sisi manusia. Sering dibenamkan selamanya, tapi lebih sering diam-diam menginspirasi manusia, dan paling sering menuntun manusia ke perilaku Rahwana yang berkepala seribu itu.

Waktu berjalan tanpa siapapun mampu mencegah. Roda kehidupan pun bergulir, kadang lambat, kadang secepat kilat, tetapi selalu pasti berjalan. Kejahatan, angkara murka, penindasan, dan pembodohan rakyat hadir di masa monarki masih merajai nusantara. Ia juga mencengkeram ibu pertiwi waktu Belanda menjajah. Ia hadir menakutkan waktu Jepang datang dengan dalih membela Asia Raya sebagai saudara tua. Ia ada di jaman setelah kemerdekaan atas nama nation building. Ia tampil lagi di masa Orde Baru dalam bentuk dan kemasan yang lain, persatuan dan pembangunan, tetapi nyatanya sering tampil semirip wajah Rahwana. Ia juga hadir hari ini di masa di mana demokrasi adalah kata kunci, di mana seharusnya rakyat menagih janji untuk bebas merdeka dari kebodohan dan kemiskinan.

"By the passing of time. People are definitely losers. Except those who believe and do good. And encourage each other to the truth. And encourage each other to endurance. (Al Ashr).

Tahun 2001 ini begitu banyak kejadian mencekam terjadi di Indonesia atau di dunia yang berimbas ke Indonesia.  Presiden RI yang pertama kali dipilih secara lebih demokratis tumbang oleh kepercayaannya semata pada wahyu, nurani, suara batin rakyat, dan itikad baik. Kenaifan, ketidaktahuan manajemen negara modern, dan tekanan lingkungan yang membodohkan dan urakan ikut menyeret mundur kekuasaannya secara agak memalukan. Sebagian rakyat menangisi dan menyesalinya. Sebagian rakyat menertawakannya atau mengasihaninya. Ia runtuh karena tipu daya, kebencian, dan kerakusan dari gelembung jahat yang masih berterbangan di lahan dan udara yang masih menjadi arena bermain jelmaan-jelmaan Rahwana, oleh institusi dan oknum-oknum manusia yang telah puluhan tahun tercengkeram dan teracuni budaya korup dan kotor Orde Baru.

Kebangkitan penguasa baru, pemenang tipis pemilu yang demokratis, membawa harapan baru, euforia baru. Rakyat banyak sudah berada di ujung penantian akan masa baru, masa yang dibebaskan dari kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan. Rakyat ingin menagih janji. Di tengah krisis yang tak kunjung habis, ekonomi morat marit, keamanan tak ada jaminan, hukum bukan untuk semua, dan arah masa depan dikaburkan, rakyat masih diminta untuk menderita lebih lama lagi. Selama ini, penderitaan rakyat hanya dianggap sebagai keharusan yang diterima dengan nrimo oleh kawula, bukan kekalahan dari kepentingan publik. Sikap nrimo kawula bukanlah hal memalukan. Ini hanya penundaan akan harapan atas kedatangan ratu adil yang diharap bisa memberi lebih dari sekadar kebodohan dan kemiskinan. Mungkin memang sesederhana itu.

Kalangan rakyat yang lebih terdidik pasti minta yang lebih dari itu. Juga suatu permintaan sederhana. Pensejajaran dengan kepatutan, peradaban, dan kebudayaan kini. Yang ada dirak-rak buku perpustakaan atau toko-toko buku di mal-mal. Yang tersaji seketika dari informasi dari  ribuan situs internet dunia yang diakses dari internet caf� yang penuh dengan kegenitan, ruang kantor di ujung menara, dan warnet-warnet kumuh. Yang hadir di setiap lembar media cetak yang bebas mengatakan apa saja dan menghujat siapa saja di setiap pagi menemani secangkir kopi. Yang dipancarkan media elektronik yang pedas dan kasat mata. Yang diajarkan di kelas-kelas universitas, di mimbar-mimbar mesjid, di ruang-ruang rapat pekerja kelas atas, di seminar, lokakarya dan pelatihan terbuka.

Kalangan rakyat terdidik tidak mengenal kehidupan dalam komunikasi dua dimensi -kawula dan penguasa. Rakyat ini, tidak menghamba, dan tidak meminta hanya dari penguasa. Kalangan ini mengenal dimensi-dimensi lain. Rakyat golongan ini tidak sebegitu bodohnya untuk tidak mafhum bahwa kekuasaan untuk mengubah tidak hanya ada di diri kepala negara. Atau segelintir orang prominen dan ahli di kabinet. Kekuasan mengubah juga ada di benak, kuasa dan tindakan pimpinan parpol, anggota parlemen, komandan militer, pengusaha dan pemilik modal, pemimpin agama, kepala daerah segala tingkatan, kaum intelektual, elemen ornop, profesional, pemuda dan mahasiswa, kaum perempuan dan buruh tani yang terorganisir.

Halaman Selanjutnya:
Tags: