Politisasi Penegakan Hukum di Sepanjang 2001
Kolom

Politisasi Penegakan Hukum di Sepanjang 2001

Akrobatik hukum masih kerap terjadi di sepanjang tahun 2001. Sebagian dari soal ini menimbulkan berbagai problematik baru yang memperlihatkan bahwa hukum belum bisa diaktualisasikan secara konsisten. Sebagian kasus ini berupa implikasi lebih jauh dari proses "perebutan" puncak kekuasaan eksekutif periode Gus Dur beserta sebagian problem turunannya, seperti penunjukan Jend. Chaerudin sebagai Kapolri, pernyataan keadaan darurat, dan "pembangkangan" militer/polisi terhadap perintah panglima tertingginya. Keadaan seperti ini sebagiannya masih berlanjut di dalam pemerintahan Megawati.

Bacaan 2 Menit
Politisasi Penegakan Hukum di Sepanjang 2001
Hukumonline

Di sisi lainnya, juga mulai dapat dilihat secara jelas beberapa kasus korupsi, dengan terungkapnya indikasi keterlibatan berbagai mantan pejabat Orde Baru dalam kejahatan korupsi tersebut, mulai dari kasus Ginanjar Kartasasmita, Rahardi Ramelan, Akbar Tandjung. Tudingan korupsi ini juga diarahkan pada beberapa "kroni" yang diduga mempunyai keterlibatan dengan penyalahgunaan kewenangan dari penguasa Orde Baru, seperti antara lain: Syamsul Nursalim, Prajogo Pangestu dan lainnya. 

Dalam konteks di atas, nampaknya proses penegakan hukum masih belum mampu dilakukan secara tegak-lurus dan hitam-putih, sehingga sebagian pelaku kejahatan itu masih bisa "bebas" dari tanggung jawab hukum. Pendeknya, penegakan hukum masih menjadi titik terlemah, baik di dalam pemerintahan Gus Dur maupun Megawati.

Hukum dan penegakan hukum masih terus mengalami proses politisasi dan instrumentasi di sepanjang tahun 2001, sehingga cita-cita untuk mengaktualisasikan supremasi hukum, apalagi mewujudkan negara hukum yang demokratis, masih begitu jauh dan panjang. Tulisan ini ditujukan untuk memperlihatkan akrobatik hukum dan menjelajahi berbagai kasus-kasus di atas yang menyebabkan proses penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. 

Penegakkan hukum di era pemerintahan Gus Dur dan Mega

Hingga paruh pertama tahun 2001, faktor Gus Dur dengan beragam sepak terjangnya serta kelompok "anti" Gus Dur dengan berbagai perilakunya, begitu dominan mewarnai dan mempengaruhi dinamika politik dan aktualisasi proses penegakan hukum.

Tentu saja, sebagian besar kejadian itu, bisa jadi, merupakan konseksuensi logis dari pengingkaran atas rasionalitas politik yang seharusnya terjadi pasca-pemilihan umum di tahun 1998. Karena, Gus Dur yang didukung oleh partai yang hanya memperoleh suara di bawah 10% di dalam pemilu, bisa menggusur partai pemenang pemilu pertama yang memperoleh suara lebih dari 30% maupun pemenang ketiga yang suaranya lebih dari 15%.

Fakta politik yang didasarkan atas komposisi perolehan suara ini dapat menjadi suatu isyarat dan sekaligus menjelaskan, terpilihnya Gus Dur sebagai presiden merupakan bentuk dari suatu kompromi politik. Sehingga, kekuasaan yang dipegangnya akan sangat bergantung kepada "deal" dan dukungan koalisi dari para partai politik  pemenang pemilu lainnya. Fakta ini juga bisa memperlihatkan dengan tegas bahwa senyatanya kekuasaan Gus Dur begitu rentan karena sangat bergantung kepada kemampuannya mengelola kompromi politik dari partai lain pendukungnya.

Di dalam konteks politik seperti ini, segala kebijakan yang berkaitan dengan proses penegakan hukum akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kebijakan itu mempunyai implikasi bagi kepentingan politik partai politik pendukungnya. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bila penyidikan atas kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan kemanusian maupun kejahatan korupsi selalu diletakkan dalam bagian "pertarungan" politik antar kekuatan politik. Apalagi, gaya kepemimpinan Gus Dur yang tercermin melalui sikap dan prilaku politik Gus Dur kerap dianggap "nyeleneh" serta tak perduli itu, acapkali potensial menciptakan perseteruan dengan para koalisi politiknya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: