Dikira sudah saatnya mangkat, anaknya memanggil mudhin (orang yang biasa berdoa) supaya bisa mendoakan. Saat mudhinnya khusuk berdoa, tiba-tiba Mbah Jo tersengal-sengal tidak bisa bernafas. Mukanya pucat, tangannya bergetar.
Memakai bahasa isyarat, Mbah Jo menirukan orang menulis. Anaknya mengerti maksudnya dan langsung mengambil kertas dan pulpen. Sambil tersengal-sengal, Mbah Jo menulis surat.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Mbah Jo memberikan suratnya kepada Pak Mudhin. Setelah itu, Pak Mudhin langsung memasukkan surat itu ke kantung sakunya. "Rasanya, tidak tepat membaca surat wasiat sekarang," pikir Pak Mudhin
Pak Mudhin pun meneruskan doanya diikuti kerabat Mbah Jo. Dan tidak lama kemudian, Mbah Jo wafat. Banyak orang yang kehilangan karena selama hidup, Mbah Jo orangnya dikenal baik dan suka menolong.
Pada saat selamatan tujuh harinya Mbah Jo, Pak Mudhin diundang lagi. Usai memimpin doa, Pak Mudhin baru ingat kalau dirinya memakai baju batik yang dipakai ketika Mbah Jo wafat.
"Lha di kantung saya ini kan ada titipan suratnya Mbah Jo. Waduh untung saya masih ingat, rek," pikir Pak Mudhin.
"Saudara-saudara semua, ada surat dari almarhum Mbah Jo yang belum saya sampaikan kepada Saudara semua. Kalau melihat Mbah Jo selama hidupnya, isinya pasti nasehat untuk anak cucunya semua. Ayo dibaca bersama-sama isi suratnya".