Urgensi Pengaturan Perlindungan bagi Korban dan Saksi
Kolom

Urgensi Pengaturan Perlindungan bagi Korban dan Saksi

Baru-baru ini Mahkamah Agung telah melantik sejumlah hakim yang akan berperan besar dalam Pengadilan HAM. Kejaksaan Agung juga telah menetapkan sejumlah jaksa yang khusus bertugas untuk menangani kasus yang diserahkan ke proses peradilan HAM tersebut. Dua kasus yang pertama sekali akan menjadi tugas dari lembaga ini adalah kasus alleged gross violation of human rights di Timor Timur dan di Tanjung Priok.

Bacaan 2 Menit
Urgensi Pengaturan Perlindungan bagi Korban dan Saksi
Hukumonline

Penetapan kedua kasus ini didasarkan pada ketentuan Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 yang membuka kemungkinan penyimpangan terhadap asas non-retroaktif yang secara konstitusional telah dirumuskan dalam Pasal 28 I Amandemen II UUD 1945. Kontroversi ini memang sangat menarik untuk dibahas, seperti juga perdebatan mengenai kewenangan KPP HAM Triaakti yang panggilannya belum (atau tidak?) dipenuhi oleh sejumlah pejabat tinggi TNI dan Kepolisian.

Walaupun kedua hal tersebut relevan dengan pengadilan HAM, fokus bahasan pada kesempatan ini adalah mengenai perlindungan korban dan saksi yang merupakan suatu conditio sine qua non bagi proses yang akan dilaksanakan peradilan HAM.

Harus diakui bahwa pembentukan Pengadilan HAM adhoc tersebut banyak disambut dengan skeptisisme publik, baik pada lingkup nasional maupun internasional. Apabila dicoba dicari alasan skeptisisme tersebut, mungkin ada beberapa faktor yang cukup signifikan. Pertama, pembahasan dan pembentukan UU tentang Pengadilan HAM sendiri ternyata cukup lama dan alot. Bahkan, pemerintah pernah mengeluarkan Perpu No. 1 tahun 1999, yang kemudian ternyata ditolak oleh DPR. Kondisi ini mau tidak mau menimbulkan prasangka di kalangan masyarakat akan kesungguhan dan kemurnian perumusan ketentuan tersebut.

Kedua, proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, terutama ke Timor Timur beberapa tahun silam, banyak ditanggapi oleh berbagai pihak dengan sinis, terutama karena jangka waktu yang cukup lama sebelum akhirnya mereka 'turun' ke Timor Timur.

Ketiga, proses pembentukan pengadilan HAM adhoc dan juga pencalonan dan penetapan hakim untuk pengadilan HAM terkesan 'tidak segera' dilakukan, sehingga Kejaksaan Agung menyatakan bahwa mereka tidak mungkin menyampaikan berkas perkara apabila pengadilannya belum dibentuk.

Keempat, para tersangka dalam kasus-kasus tersebut berasal dari suatu lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar pada masa pemerintahan Suharto, sehingga dikhawatirkan bahwa hal tersebut masih cukup kuat untuk mempengaruhi proses dan keputusan pengadilan.

Kelima, para saksi dan korban dalam kasus-kasus tersebut belum memiliki akses pada perlindungan hukum yang dapat memperkuat posisi mereka untuk memberikan keterangan secara bebas dan tanpa rasa takut, karena ketentuan yang ada tidak merumuskan hak-hak mereka secara eksplisit.

Halaman Selanjutnya:
Tags: