Selama tahun 2001 sampai dengan 2002, tercatat serikat karyawannya (Sekar) BUMN seperti PT Telkom, PT Dirgantara Indonesia (IPTN-sebelum berubah), PT Kereta Api Indonesia (KAI) telah menyerukan dan malakukan aksi mogok untuk menekan direksi maupun pemerintah agar memperhatikan tuntutan karyawan.
Sekar di BUMN biasanya menjadi "komando" aksi mogok massal. Seperti terjadi di PT Telkom Divisi Regional (Divre) IV Jawa Tengah-Yogyakarta, Sekar telah mengkomandani pemogokan massal 3.069 karyawan Telkom Divre IV pada 28-31 Januari 2002 untuk menggagalkan tukar guling (ruilslag) dengan PT Indosat.
Begitu juga yang terjadi di KAI, Sekar KAI telah mengancam untuk menggelar aksi mogok massal sebagai bentuk protes atas terpilihnya Omar Berto menjadi Dirut KAI menggantikan Badar Zaini. Seruan mogok karyawan ini berupa penghentian secara bertahap seluruh pelayanan jasa kereta api sampai Omar Berto mengundurkan diri.
Akibat seruan serta mogok karyawan di BUMN, tentunya sangat berdampak terhadap pelayanan kepada masyarakat. Apalagi kebanyakan BUMN merupakan perusahaan vital yang masih diberikan hak monopoli. Karena itu, dampak mogok karyawan BUMN akan menimbulkan kerugian besar bagi rakyat banyak.
Kerugian besar masyarakat akibat mogok karyawan BUMN sangat terlihat ketika PT Telkom Divre IV melakukan aksi mogok. Kerugian masyarakat meliputi terhentinya seluruh pelayanan Telkom kepada masyarakat Jawa Tengah-Yogyakarta seperti pengaduan gangguan, pemasangan baru, serta penghentian pembayaran tagihan.
Industri vital
Sebenarnya berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 Tahun 1963 yang sekarang masih berlaku, pemerintah masih melarang mogok karyawan serta penutupan (lock out) terhadap perusahaan, jawatan, dan badan vital. Namun sayangnya, peraturan pelaksana Penpres No. 7 Tahun 1963 sudah tidak ada lagi.
Berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1963, seruan dan aksi mogok yang dilakukan di perusahaan, jawatan, dan badan vital milik negara merupakan tindak kriminal (pidana). Namun, Keppres No. 123 Tahun 1963 yang menjadi peraturan pelaksana Penpres No. 7 Tahun 1963 sudah dicabut dengan Keppres No. 27 Tahun 1990.