Peran Polri dengan Otonomi Daerah
Kolom

Peran Polri dengan Otonomi Daerah

Reformasi telah berhasil mengubah wajah masyarakat kita menjadi masyarakat madani yang telah mengubah wajah polisi kita menjadi polisi sipil dengan UU Polri No. 2 Tahun 2002 yang penuh kontroversi karena mengalami penundaan beberapa saat. Saat ini, masyarakat menunggu peraturan pelaksanaan dari UU Polri No. 2 Tahun 2002 tersebut.

Bacaan 2 Menit
Peran Polri dengan Otonomi Daerah
Hukumonline

Menurut keterangan beberapa anggota Pansus DPR yang turut membidani lahirnya UU Polri, beberapa usulan masyarakat terhadap draf RUU Polri yang tidak dapat ditampung dalam UU Polri akan ditampung dalam peraturan pelaksanaan. Dengan demikian, reformasi telah berhasil melakukan demiliterisasi terhadap polisi. Di samping itu, reformasi juga telah berhasil melakukan desentralisasi peran pemerintah dengan UU Otonomi Daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam mengidentifikasi pola hubungan antara institusi Polri dengan pemerintah daerah, setidaknya terdapat 3 (tiga) pola yang berkembang dalam sistem tata pemerintahan kita.

Pola pertama, polisi sebagai penegak Kamtimbas seutuhnya dan tidak terbagi dengan peran pemerintah daerah, yaitu polisi bertanggung jawab penuh terhadap masalah keamanan dan ketertiban. Pemerintah Daerah tidak memiliki peran sediki tpun dalam turut urun fungsi dalam masalah ketenteraman dan ketertiban (trantib), tetapi Polri bertanggung jawab dalam masalah trantib kepada Gubernur. Dan Gubernur merekomendasi pencalonan Kapolda. Hal ini diatur secara jelas dalam UU Nangro Aceh Darussalam (Otonomi khusus).

Pola kedua, Polri berbagi secara tegas dengan pemerintah daerah tentang masalah Kamtimbas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang menjadi urusan Polri sedang Trantib (kententeraman dan ketertiban) menjadi urusan pemerintah daerah. Hal ini terlihat jelas dalam pola hubungan Polda Metro Jaya dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (Pemda DKI) Jakarta beberapa waktu lalu ketika Polda Metro di bawah komando Sofyan Yacob pada saat terjadi sidang tahunan MPR yang pertama. Hubungan antara Polda Metro dan Pemda DKI begitu tegas, bahkan terkadang telah membuat masyarakat sering kali bingung. Apalagi seragam petugas trantib berwarna warni ada yang hijau, biru dan cokelat. Hubungan yang tegas dan tidak jarang menjadi tegang belum tentu terjadi apabila person yang menjadi gubernur dan ketua DPRD bukan dari kalangan militer.

Pola ketiga, Polri berbagi peran secara akomodatif dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk urusan keamanan bahkan dalam kaitan criminal justice sistem. Para tetua masyarakat memiliki peran dalam menangani kasus  pidana ringan (awig-awig) seperti yang telah lama terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Dari beberapa bentuk pola hubungan antara Polri dan pemerintah Daerah tersebut, pembahasan akan dititikberatkan pada pola hubungan antara Polri dan pemerintah daerah yang tidak memiliki otonomi khusus. Dengan demikian, pola pertama akan dikesampingkan dari pembahasan. Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari kedua pola hubungan antara Polri dan pemerintah daerah adalah sebagai berikut:

  1. Semakin rawan situasi kamtimbas yang terjadi di masyarakat, polisi akan semakin memiliki peran dominan dalam sistem tata pemerintahan daerah. Sebaliknya semakin tertib keadaan suatu masyarakat, peran polisi semakin berkurang sedangkan peran masyarakat akan semakin nyata dalam turut menciptakan ketertiban di masyarakat. Seperti, yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kesimpulan di atas tentu tidak dapat kita pungkiri karena otoritas keamanan hanya dimiliki oleh institusi Polri.
  2. Faktor latar belakang (sipil atau militer) dari pribadi gubernur dan Ketua DPRD sangat menentukan pola hubungan pemerintah daerah dan polisi. Kesimpulan sementara di atas hanya mengacu pada kasus Jakarta. Kendati kurang cukup representatif, tetapi karena Jakarta adalah barometer dari segala bentuk tata hubungan pemerintahan maka kasus Jakarta sangat menarik untuk menjadi contoh kasus.

Bagaimana standar baku pola hubungan antara institusi Polri dengan pemerintah daerah tentu belum dapat dijawab saat ini karena wujud otonomi daerah belum lagi tuntas. Masyarakat di daerah masih disibukkan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan lain-lain. Mereka sedang mencari bentuk. Faktor tersebut seyogyanya tidak menjadi alasan bagi institusi Polri untuk juga mencari bentuk polisi sipil yang bagaimana?

Sebagai institusi, Polri tentu lebih solid dan terorganisir karena telah memiliki sejarah dan kultur yang telah dibangun bersamaan dengan berdirinya republik tercinta ini. Dengan demikian, Polri seharusnya tidak menunggu terbentuknya otonomi daerah secara tuntas. Tetapi secara proaktif, membuka ruang-ruang partisipasi masyarakat menuju masyarakat madani dengan menggunakan prinsip- prinsip masyarakat madani yang tersebut dalam Tap MPR No. XI/98 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Tags: