Pasien Jadi Korban, Rumah Sakit Lepas Tangan
Fokus

Pasien Jadi Korban, Rumah Sakit Lepas Tangan

Kalangan dokter harus mengendurkan sedikit arogansinya yang selalu memandang bahwa diri mereka yang paling benar ketika menghadapi kasus malpraktek. Mungkin sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, dokter tidak ingin disamakan sebagai pelaku usaha. Namun, bagaimana jika seorang dokter sebagai pasien menjadi korban malpraktek yang dilakukan rekan seprofesinya?

Oleh:
Amr/APr
Bacaan 2 Menit
Pasien Jadi Korban, Rumah Sakit Lepas Tangan
Hukumonline

Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), mengemukakan bahwa dari 149 kasus yang masuk ke YPKKI, sebanyak 75% korban malpraktek adalah tenaga medis sendiri, baik dokter, perawat dan lainnya. "Kebanyakan dokter, kalau giliran dia yang dirugikan, baru dia menggunakan haknya sebagai konsumen," cetus Marius kepada hukumonline.

Sebagaimana kerap diungkapkan oleh kalangan dokter, hubungan dokter-pasien atau rumah sakit-pasien tidak sama dengan hubungan antara produsen/pelaku usaha-konsumen. Oleh sebab itu, kalangan dokter ataupun rumah sakit menolak keras pemberlakuan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di bidang pelayanan kesehatan.

"Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, tidak selayaknya diberlakukan di bidang pelayanan kesehatan mengingat UU ini dibuat untuk mengatur hubungan antara pengusaha dan pembeli/penerima jasa, yang hubungan yuridisnya dikenal sebagai resultaatverbintenis. Sementara hubungan dokter-pasien atau rumah sakit-pasien merupakan hubungan inspanningsverbintenis," demikian diungkapkan Ketua Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit PP Persi Imam Hilman.

Hal itu disampaikan oleh Imam pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (Persi) pada 21-22 April 2001. Bagi Persi, pandangan masyarakat bahwa hubungan dokter/rumah sakit-pasien adalah sama dengan hubungan produsen-konsumen merupakan kendala serius dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di rumah sakit.

Bebas tuntutan hukum

Menurut konsep tersebut, secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbintenis), tetapi berdasarkan pada usaha atau upaya sebaik-baiknya (inspanningverbintenis). Jadi, jika sekiranya dokter telah bekerja dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapat izin dari pasien (informed consent), maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum.

Namun dalam kenyataanya, seperti dikatakan Marius, tidak semua dokter menelan bulat-bulat konsep pola hubungan inspanningverbintenis tersebut. Atau setidak-tidaknya, jika mereka sendiri yang menjadi 'korban' dari dokter atau rumah sakit lainnya, mereka menginginkan perlindungan layaknya konsumen 'biasa'.

Contoh yang paling aktual, yaitu kasus yang dialami oleh dokter gigi (drg) Nelly yang mengalami kebutaan permanen pasca operasi bedah tumor pada punggungnya. Nelly melalui kuasa hukumnya menggugat para dokter dan RS Medistra di Jakarta Selatan, tempat ia dirawat, karena telah melakukan malpraktek atas dirinya.

Tags: