Affirmative Action PolicyPerlakuan Khusus atau Belas Kasihan?
Kolom

Affirmative Action PolicyPerlakuan Khusus atau Belas Kasihan?

Baru-baru ini Presiden Megawati mengeluarkan statement yang menarik. Bertepatan dengan peringatan Hari Kartini, Presiden meminta kepada kaum perempuan untuk berhenti mengharapkan belas kasihan. Menurutnya, saat ini kaum perempuan Indonesia mesti berusaha dan berjuang meningkatkan harga dirinya sendiri. Presiden meminta perempuan di tanah air mengindari perolehan dengan dasar permintaan pemberian 'kuota'.

Bacaan 2 Menit
Affirmative Action PolicyPerlakuan Khusus atau Belas Kasihan?
Hukumonline

Menariknya, Presiden juga meminta perempuan untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya agar tercipta kesetaraan. Artikel ini akan mengekseminasi isu ketidaksetaraan perempuan dalam kerangka kebijakan affirmative action. Apa yang semestinya dilakukan negara untuk mencapai kesetaraan perempuan yang sejati?

Program affirmative action merupakan sebuah cara yang banyak direkomendasikan untuk mencapai kesetaraan kaum perempuan. Ketidaksetaraan perempuan terjadi di semua bidang akibat struktrur patriarki di level publik dan privat. Dari sudut sejarah, istilah affirmative action diaplikasikan di level publik di mana negara dan institusi publik mengeluarkan kebijakan yang memberikan peluang atau perlakuan khusus kepada perempuan. Termasuk, kebijakan kuota di lembaga-lembaga negara dan publik: parlemen, pemerintahan, institusi pendidikan dan lapangan pekerjaan. Program ini dilakukan di banyak negara seiring dengan gerakan perempuan yang bekerja di rana domestik dan internasional.

Istilah aksi afirmasi memiliki makna ideologis. Sama sekali bukanlah politik 'belas kasihan'. Dalam literatur, term ini dipersamakan dengan frase positive discrimination, favorable discrimination. Sementara dalam hukum hak asasi internasional, term ini sering disebut dengan special measures yang berkembang terutama pada periode pembahasan draf Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (IESCR). Sebagai catatan, Indonesia belum meratifikasi Kovenan induk ini. Sebelumnya, term  special measure telah dikenal dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO, 1958).

Tom Campbell, seorang profesor yurisprudensi menyatakan bahwa affirmative action sebagai "kebijakan yang dikeluarkan untuk grup tertentu yang dinilai tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskrimasi".

Selanjutnya, Elizabeth S. Anderson, mendefiniskan term ini lebih luas termasuk semua kebijakan yang bertujuan (a) mengupayakan penghilangan hambatan dalam sistem  dan norma terhadap kelompok sebagai akibat sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan, dan/atau; (b) mengupayakan promosi masyarakat yang inklusif sebagai prasyarat demokrasi, integrasi, dan pluralisme; (c) mengupayakan kesetaraan atas dasar pengklasifikasian identitas (ras, gender, etnisitas, orientasi seksual, dsb).

Pro dan kontra

Ada baiknya melihat diskursus pro dan kontra terhadap kebijakan affirmative action ini, dengan memakai kerangka Elizabeth Anderson. Meskipun konsep ini bukanlah hal yang baru, perdebatan antara kelompok pro dan kontra masih berlanjut. Kelompok yang kontra terhadap kebijakan ini setidaknya mendasarkan diri pada isu bahwa program ini mengancam nilai-nilai 'fairness, persamaan, dan kesempatan demokratik.'

Pada faksi ini di  antaranya beranggapan bahwa sistem dan mekanisme pasar dapat menjawab persoalan diskriminasi terhadap perempuan. Kebijakan ini dianggap melanggar praktek meritokrasi, yakni sebuah sistem seleksi pada masyarakat yang demokratis. Konsep meritokrasi dianggap dapat memberikan kesempatan yang genuine bagi semua orang dan memperlakukan semua kandidat secara sama. Kandidat yang tebaik akan muncul secara otomatis karena sistem ini telah menyediakan parameter yang fair terhadap semua kandidat.

Tags: