Mau ke Mana Pengacara Kita?
Kolom

Mau ke Mana Pengacara Kita?

Hajatan besar yang diadakan Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) Kode Etik Himpunan Pengacara dan Pengacara Indonesia (HAPI) berkenaan dengan pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh Elza Syarief, kini selesai sudah. Elza telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan diberikan "kartu kuning" berupa peringatan keras. Akan tetapi, sayangnya MKKE tidak memberikan pertimbangan moral dan etika mendalam yang mendasari keputusannya itu. Tidak dijelaskan juga, berapa biaya yang telah dihabiskan dan siapa yang membayarnya.

Bacaan 2 Menit
Mau  ke Mana Pengacara Kita?
Hukumonline

Belum usai kasus Elza, keributan ala preman antara John Wallery (pengacara Akbar Tandjung) dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fachmi yang terjadi di dalam persidangan perkara Akbar Tandjung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap pengacara maupun organisasi profesi pengacara. Selama ini, banyak pihak meragukan keseriusan organisasi profesi pengacara dalam menegakkan kode etik profesinya dan mendisiplinkan anggotanya yang "bandel".

Dalam kasus Elza Syarief misalnya, pemeriksaan pelanggaran kode etik profesi ini baru digelar setelah Elza dijadikan tersangka pelaku tindak pidana penyuapan dan tindak pidana lainnya. Hukum acaranya pun dibuat dengan "sistem kebut" lima hari sebelum pemeriksaan dimulai. Bahkan, Ketua MKKE-nya pun pengacara yang pernah tersandung beberapa perkara pelanggaran hukum. Apabila pemeriksaaan MKKE terhadap Elza diikuti sejak awal, maka terkesan kuat bahwa pemeriksaan tersebut dilakukan justru sebagai upaya organisasi profesi untuk melindungi atau membela anggotanya dan bukan untuk mendisiplinkan anggotanya.

Meski demikian, kasus Elza ini merupakan landmark case dalam penegakan kode etik profesi pengacara di Indonesia. Kasus ini merupakan kasus pertama di mana pemeriksaannya dilakukan secara terbuka. Setidak-tidaknya, kasus Elza ini berhasil menghibur masyarakat yang selama ini selalu dikecewakan atas ketidakterbukaan hasil pemeriksaan terhadap pengacara yang diduga melanggar hukum maupun kode etik.

Ambil contoh, kasus Juan Felix Tampubolon yang oleh polisi sempat ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menghalang-halangi upaya polisi melakukan penggeledahan di rumah terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Kemudian kasus Hotman Paris Hutapea, yang diduga telah melakukan tindak pidana pengrusakan barang bukti dan pemberian keterangan palsu di muka pengadilan.

Berbagai upaya untuk memulihkan citra pengacara dan menegakkan kode etik profesi ramai dibicarakan belakangan ini, mulai dari desakan akan perlunya Undang-Undang Advokat sampai dengan Federasi Advokat yang "mengayomi" organisasi-organisasi profesi pengacara yang ada sampai terbentuknya organisasi profesi pengacara tunggal [Kompas, 20 Mei 2002]. Namun, penulis menyangsikan segala upaya itu dapat berjalan efektif tanpa didukung dengan kesadaran dan komitmen dari para pengacara itu sendiri serta masyarakat pada umumnya.

Perubahan fokus

Selama beberapa tahun terakhir, ada perubahan fokus dalam praktek hukum para pengacara Indonesia. Profesi pengacara tidak lagi dianggap sebagai suatu profesi dalam pengertian tradisional. Profesi hukum sebagai wadah pengabdian sudah semakin ditinggalkan. Profesi yang dijalankan pengacara Indonesia kini nampaknya sudah bergeser ke arah kepentingan bisnis. Banyak pengacara yang rela menyingkirkan idealisme dan etika moralnya demi kepentingan finansial. Ketatnya persaingan, risiko yang tinggi, membuat mereka lebih memfokuskan pada berapa banyak uang yang dapat mereka peroleh daripada kepentingan klien mereka.

Bagi mereka yang berpraktek di pengadilan condong melihat "hasil", yakni kemenangan dalam perkara, sebagai penentu sukses daripada "cara" yang mereka lakukan untuk mencapai hal itu. Sehingga mereka pun tidak mempedulikan lagi sumpah jabatan mereka untuk menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan. Mereka pun akhirnya lebih berupaya menjadi pengacara-pengacara "selebritis" daripada membicarakan idealisme dan kode etik profesi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: