Serial Advokat (1)
Kebangkitan Advokat Bumiputera
Jeda

Serial Advokat (1)
Kebangkitan Advokat Bumiputera

Para advokat memiliki peran dalam kebangkitan nasional. Selain dalam pergerakan nasional, para pengacara juga banyak berkiprah dalam politik pasca kemerdekaan. Pasang surut kiprah para pengacara amat dipengaruhi kebijakan pemerintah dan politik nasional. Hukumonline akan menyajikan serial sejarah pengacara Indonesia.

Oleh:
Red
Bacaan 2 Menit
<FONT SIZE='1' COLOR='#FF0000'><B>Serial Advokat (1)</B></FONT><BR>Kebangkitan Advokat Bumiputera
Hukumonline

Perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa dan usaha memerangi feodalisme telah dimulai sejak kelahiran Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Kebangkitan kaum bumiputera itu tidak terlepas dari peran dokter Wahidin Soedirohusodo dan para murid sekolah kedokteran Stovia. Namun sebenarnya, kebangkitan nasional juga tidak terlepas dari dukungan pribumi yang tengah belajar hukum.

Peran para sarjana hukum dalam kebangkitan kaum bumiputera selama ini memang tidak banyak disinggung. Padahal para sarjana hukum pribumi ini juga memberikan kontribusi yang besar dan banyak memberi corak dalam pergerakan dan kebangkitan nasional.

Para advokat dari kalangan bumiputera juga telah menunjukkan komitmennya terhadap persatuan nasional dan banyak berkiprah dalam politik nasional, baik sebelum maupun pasca kemerdekaan Indonesia.

Sampai pertengahan 1920-an, tidak ada seorang pun dari golongan Indonesia asli yang menjadi advokat. Pada masa itu, semua advokat adalah orang Belanda. Tampaknya, pemerintah Belanda tidak mendukung tumbuhnya advokat dari kalangan bumiputera. Tumbuhnya advokat pribumi amat bergantung kepada kombinasi ideologi pemerintahan dan kebijakan ekonomi kolonialnya.

Para pejabat kolonial Amerika dan Inggris cenderung berpandangan bahwa tegaknya tatanan hukum sebagai unsur penting kebijakan ekonomi dan bagian dari tugas kehadirannya. Karena itu, logis jika mereka berupaya mendorong tumbuhnya pengacara pribumi. Pada saat bersamaan, mereka juga cenderung mendorong kesertaan politik lokal dan pengembangan usaha kewiraswastaan, sehingga pengacara lokal akan tumbuh jika diberi kesempatan.

Sementara di tanah jajahan Belanda dan Prancis, konsepsi ideologis dan kebijakan ekonomi kaum penjajah berbeda. Kolonial dari Eropa ini menitikberatkan pentingnya peran kehendak eksekutif, bukan kehendak hukum itu sendiri.  Dipadukan dengan monopoli khusus bagi pengusaha Eropa, kebijakan ini sedikit sekali mendorong atau memberi ruang gerak bagi pengacara  pribumi. 

Kebijakan etik

Pemerintah kolonial Belanda beranggapan bahwa birokrasi kolonial sudah cukup untuk menangani masalah hukum sederhana. Mereka menilai, masalah hukum orang pribumi yang tidak rumit mengilhami pembentukan ketentuan keacaraan (Herziene Irlandse Reglement, HIR) yang lebih sederhana. Karena itu, timbul anggapan bahwa orang Indonesia yang berperkara tidak memerlukan bantuan penasehat hukum.

Tags: