Catatan Singkat RUU Anti Terorisme
Kolom

Catatan Singkat RUU Anti Terorisme

Teror pernah digunakan untuk tujuan﷓tujuan komersial. Pelaku teror melakukan ancaman untuk mendapatkan uang. Dalam perjalanannya, kegiatan terorisme bergeser untuk tujuan pelepasan orang yang sedang menjalani hukuman. Selanjutnya, tindakan terorisme lebih bernuansa dan bertujuan politik.

Bacaan 2 Menit
Catatan Singkat RUU Anti Terorisme
Hukumonline

Dalam hukum internasional, terorisme dibicarakan dalam konteks negara mana yang mempunyai yurisdiksi terhadap tindakan yang menggunakan teror. Hukum internasional tidak memandang terorisme sebagai kejahatan internasional. Oleh karenanya, yurisdiksi negara ditentukan berdasarkan asas teritorial, asas nasionalitas, dan asas perlindungan (protective principle).

Masalah terorisme dengan cara membajak pesawat udara menjadi perhatian masyarakat internasional pada 1970-an. Padahal pada 1963 telah dibuat perjanjian internasional untuk memerangi tindakan yang membahayakan pesawat udara atau dikenal dengan Convention on the Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft. Mengingat pesawat udara dapat menempuh beberapa negara dalam waktu yang sangat singkat, dipertanyakan negara manakah yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelaku terorisme. Pada 1970 masyarakat internasional berhasil menyepakati sebuah perjanjian internasional yang diberi nama Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft.

Masalah terorisme muncul kembali setelah peristiwa 11 September 2001 dengan ditabraknya Twin Tower WTC di New York oleh dua pesawat komersial yang dikemudikan oleh para teroris. Amerika Serikat sebagai korban tindakan terorisme sejak saat itu giat mengkampanyekan tindakan anti-terorisme.

Kampanye anti-terorisme AS

Tragedi 11 September 2001 telah memicu Pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk melancarkan kampanye anti-terorisme ke dalam negeri maupun ke berbagai penjuru dunia. Ke luar negeri, kampanye ini bermula dengan upaya AS untuk menangkap Osama bin Laden dan para pengikutnya.

Kemudian dilanjutkan dengan penyerangan terhadap pemerintahan Taliban di Afghanistan, mendemamkan di PBB dan berbagai organisasi internasional tentang bahaya laten terorisme, meminta pemerintahan sejumlah negara untuk memberlakukan perundang-undangan anti-terorisme, hingga pernyataan dari Deputi Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz yang akan melakukan sweeping terhadap sejumlah negara yang diduga menjadi kantung kelompok teroris, termasuk Indonesia.

Memang terorisme dalam segala bentuk harus diperangi. Memperjuangkan sesuatu tidak seharusnya menggunakan teror atau kekerasan. Namun, fenomena kebijakan luar negeri Washington dalam mengkampanyekan anti-terorisme ke berbagai penjuru dunia perlu untuk dikritisi.

Pertama, Pemerintah AS telah mengambil peran sebagai otoritas satu-satunya yang dapat menentukan apa yang dimaksud dengan 'terorisme'. Tidak ada satu pun negara yang berani untuk menentangnya. Negara-negara sekutu AS mengiyakan apa yang dianggap AS sebagai terorisme dan negara lain tidak diberi peluang untuk berbeda pendapat. Hal ini dialami Indonesia sewaktu Presiden Megawati mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan AS yang menyerang Afghanistan.

Tags: