Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?
Kolom

Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?

Mendengar keterangan yang diberikan saksi ahli dalam kasus korupsi dana non-budgeter Bulog, rasa keadilan masyarakat terusik. Fakta ini terlihat dari berbagai komentar masyarakat yang muncul terhadap keterangan saksi ahli tersebut, seperti terlihat di hukumonline. Bahkan salah satu pemberi komentar dengan lugas menanyakan, "Berapa tarif Prof. Loebby Loqman Cs?".

Bacaan 2 Menit
Obyektivitas Ilmuwan atau Pragmatisme Tukang?
Hukumonline

Masyarakat mempertanyakan obyektivitas para saksi ahli tersebut terkait dengan kedudukan mereka sebagai ilmuwan yang seharusnya obyektif, atau sebagai tukang yang hanya memberikan keterangan sesuai dengan keinginan pemesan?

Tiga ahli hukum pidana, Andi Hamzah, Loebby Loqman, dan Bambang Purnomo memberikan keterangan yang senada. Mereka berpendapat bahwa jika hasil korupsi telah dikembalikan, maka tidak perlu ada pemidanaan terhadap terdakwa. Rasa keadilan masyarakat terusik karena dengan pemahaman seperti itu, setiap orang dapat merasa aman melakukan korupsi. Jikapun  kemudian terungkap dan didakwa delik korupsi, tinggal menggembalikan uang yang senilai dengan hasil korupsi, habis perkara. Kapan keadilan akan ditegakkan jika seperti ini?

Dengan tingkat korupsi yang sudah sedemikian parah dan mengakar di Indonesia, sudah selayaknya jika diambil tindakan tegas terhadap pelaku-pelaku korupsi. Maling ayam atau copet di jalan yang nilai materilnya relatif kecil saja seringkali meregang nyawa saat berhadapan dengan pengadilan jalanan. Menjadi pertanyaan semua orang, mengapa koruptor yang merugikan keuangan negara dus merugikan masyarakat hingga milyaran rupiah bahkan lebih, masih dapat "melenggang kangkung". Bagaimana mungkin rasa keadilan masyarakat tidak terusik menyaksikan fakta semacam itu?

Alasan yang sering dikemukakan oleh praktisi hukum, terdakwa korupsi seringkali sudah diadili oleh pemahaman masyarakat. Masyarakat sudah menilai terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi, walaupun proses persidangan masih berjalan dan belum ada putusan hukum yang berkekuatan tetap. Selama terdakwa belum diputus bersalah, maka di depan hukum dia belum dinyatakan telah melakukan suatu tindak pidana.

Maka sudah seharusnya, masyarakat menghormati hak-hak terdakwa dengan tidak memberikan penilaian yang prematur. Biarkanlah proses persidangan berjalan sesuai mekanismenya, dan hendaknya semua pihak menghormati hasil dari proses persidangan tersebut. Hal semacam ini hanya dapat terjadi jika lembaga peradilan yang ada sudah dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga masyarakat tidak ragu terhadap proses peradilan.

Akan tetapi, apakah lembaga peradilan di Indonesia sudah dapat menjadi gantungan harapan masyarakat terhadap penegakan hukum? Sudah menjadi rahasia publik jika lembaga peradilan di Indonesia belum dapat berperan optimal dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kedudukan yang setara di depan hukum bagi setiap warga negara masih menjadi slogan di awang-awang. Celah-celah hukum seringkali meloloskan terdakwa yang memiliki kekuasaan ataupun uang.

Alasan klasik bahwa secara hukum terdakwa tidak bersalah, walaupun menurut masyarakat terdakwa jelas-jelas telah menyalahgunakan wewenangnya untuk korupsi, selalu dipergunakan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Kasus Akbar Tandjung ini dapat menjadi contoh bagaimana pemahaman hukum dapat diputarbalikan. Bahkan, oleh para pakar hukum pidana sendiri yang notabene adalah panutan di institusi pendidikannya masing-masing.

Halaman Selanjutnya:
Tags: