Perjuangan Berat untuk Jadi Jaksa
Fokus

Perjuangan Berat untuk Jadi Jaksa

Berat memang "perjuangan" menjadi seorang jaksa. Paling tidak itu yang dialami Karno (bukan nama sebenarnya). Lulusan sebuah fakultas hukum ternama di Jakarta harus sampai berhutang kepada tetangga-tetangganya agar ia bisa berangkat ke daerah penempatannya di Ambon. Tentu, perjuangan Karno ini bukan tanpa alasan.

Oleh:
Tri/Nay/APr
Bacaan 2 Menit
Perjuangan Berat untuk Jadi Jaksa
Hukumonline

Sejak awal, kepada teman-temannya Karno selalu mengatakan kalau bukan dirinya yang mau jadi jaksa, siapa lagi?. "Loe sendiri memang mau jadi jaksa," tantang Karno kepada temannya. Karno menggangap menjadi jaksa adalah tugas mulia. Ia melihat, institusi kejaksaan sudah berada di persimpangan jalan.

Di satu sisi, institusi kejaksaan sangat diperlukan dalam penegakkan hukum. Namun di sisi lain, tidak ada perbaikan dalam sistem di kejaksaan, khususnya soal rekrut pegawai. Karno menyayangkan sikap Kejaksaan yang kurang memperhatikan masalah perekrutan ini. Akibatnya, banyak sekali sarjana-sarjana hukum yang berpotensi enggan menjadi seorang jaksa.

Sebelum berhasil menjadi calon pegawai kejaksaan (capeg), Karno harus bersaing dengan 2.000 bakal capeg sarjana hukum yang juga melamar menjadi pegawai kejaksaan, khususnya untuk wilayah DKI Jakarta. Sementara untuk seluruh wilayah Indonesia ada sekitar 8.000 yang melamar, termasuk di dalamnya lulusan SLTA, dan sarjana non-hukum.

Ada empat tahap tes yang harus dijalani para bakal capeg sebelum akhirnya dinyatakan lulus dan diangkat menjadi capeg. Setiap tes tersebut menggunakan sistem gugur. Tes tersebut antara lain : tes akademik, tes psikologi (psikotes), tes kesehatan, dan terakhir wawancara dengan para Jaksa Agung Muda Kejaksaan Agung.

Berbeda dengan instansi pemerintah lainnya, para bakal capeg harus menanggung sendiri seluruh biaya tes, kecuali tes akademik yang memang sudah disiapkan pihak Kejaksaan. Untuk mengikuti seluruh tes lainnya, para bakal capeg harus merogoh kantongnya sebesar Rp450.000.

Kepada hukumonline, Kepala Biro Kepegawaian Kejagung Manap Djubaidi yang ditemui di ruang kerjanya (20/6) mengaku, negara tidak memiliki anggaran untuk menanggung tes para bakal capeg. "Karena anggaran rekrutmen yang diberikan negara kurang dari RP200 juta. Selain memang negara belum menganggarkan biaya bagi para capeg," papar Manap. 

Menurut Manap, kekurangan anggaran bukan hanya terjadi saat proses perekrutan, tapi terhadap kebutuhan capeg yang telah dinyatakan lulus. Para capeg hanya mendapatkan gaji sebesar 80% dari gaji PNS, yang dihitung berdasarkan golongannya. Kalau ia sarjana, mendapatkan gaji sekitar Rp500 ribuan.

Tags: