Kebohongan Publik
Tajuk

Kebohongan Publik

Teori hak asasi manusia yang modern menuntut hak atas informasi yang harus diberikan secara terbuka dan merata kepada setiap warga negara. Dalam wujud kesehariannya, pemberian hak atas informasi menjelma jelas dalam kehadiran kebebasan pers. Pers yang bebas mengungkap semua aspek kehidupan negara dan masyarakat menjadi serba kasat mata, tanpa 'tedeng aling-aling'.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Kebohongan Publik
Hukumonline

Masyarakat menjadi dibanjiri informasi. Informasi yang berkualitas membangun masyarakat demokrat yang dewasa. Informasi yang sarat dengan kegenitan membuang waktu kita percuma. Informasi yang buruk dan menyesatkan menjadikan kita masyarakat yang gemar menyakiti dan menghancurkan diri sendiri (self-destructive) seperti yang kita alami sekarang ini.

Jadi di mana letak kebohongan publik di tengah banjir informasi yang tengah melanda kita? Di ujung spektrum yang satu, kebohongan kepada publik merupakan alternatif informasi untuk tujuan politik semata. Tidak ada yang dirugikan, dan tidak ada yang tersinggung. Bila pejabat atau wakil rakyat memilih bergenit-genit dengan kebohongan seperti ini, maka pada gilirannya nanti wajar bila dia akan kehilangan konstituen. Orang berhohong sesekali menimbulkan tawa. Orang yang kerap berbohong tanpa beban, mempertaruhkan kredibilitas dan integritasnya. Di ujung spektrum lainnya, kebohongan publik bisa berakibat pelanggaran pasal-pasal pidana. Apalagi kalau kepentingan publik menjadi taruhannya. Dalam kaitan ini, kebohongan semacam ini patut menjadikan pelakunya diseret ke hadapan meja hijau.

Pada era Soekarno, rakyat kecil dibuai oleh jargon-jargon politik. Rakyat yang lapar diminta untuk menepuk dadanya, dan menentang musuh masyarakat untuk menunjukkan dadanya. Rakyat yang miskin pendidikan diminta menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Rakyat selalu harus punya musuh: kapitalisme, neo-imperialisme, neo-kolonialisme, kaum reaksionis, dan kaum-kaum lain yang tidak revolusioner, agar rakyat selalu siap dan waspada, dan melupakan penderitaannya. Walaupun rakyat sengsara karena semua kebutuhan hidup dijatah, ekonomi kacau, kemiskinan merata, oposisi dibungkam, rakyat tidak buta politik, dan rakyat merasa terlibat dalam suatu proses nation-building.

Waktu Bung Karno mengatakan: "go to hell with your aid" kepada dunia barat dan menyatakan Indonesia keluar dari PBB, ada sebersit kebanggaan menyelinap di dada banyak orang Indonesia waktu itu bahwa ada semangat kemandirian  di sana. Walaupun kemudian, kebanggaan tadi harus ditebus dengan penderitaan lebih dalam dan merata kepada rakyat kecil karena akibatnya yang menimbulkan serba keterbatasan pada kelenturan ekonomi kita.

Kebohongan publik telah terjadi, dan hanya segelintir intelektual yang merasakan bahwa kita memang betul-betul ber-"viveri veri coloso" (nyerempet-nyerempet bahaya). Tapi sebagian besar orang Indonesia merasakan kebohongan publik itu sebagai kebutuhan hidup. Dirasakan, diakui, dan dibenarkan. Kita masih belum punya akses informasi global yang terbuka. Kita masih merasa sama miskinnya dengan bangsa-bangsa Asia Afrika di mana-mana. Kita memberikan toleransi yang tinggi atas semua kebohongan publik karena semua orang sama miskinnya. Dan dalam kemiskinan, orang membutuhkan mimpi-mimpi.

Pada era Soeharto, kebohongan publik dilakukan untuk menutupi kecurangan penguasa, korupsi masif yang meluluh-lantakkan sendi-sendi kenegaraan dan kemasyarakatan yang akibatnya kita rasakan sampai sekarang. Bahkan, mungkin sampai anak cucu kita nanti. Kalau banyak orang di Asia dan Afrika sampai sekarang ini mengasosiasikan Indonesia dulu dengan Soekarno, maka ada pensejajarannya dengan tokoh-tokoh dunia seperti Gandhi, Nehru, Mao, Ho Chi Minh, Fidel Castro, Tito, dan dalam konteks konflik yang aneh, dengan John Kennedy.

Soeharto sekarang dikenal tidak lebih dari orang yang menjerumuskan Indonesia menjadi negara terkorup di dunia, dan tiada habisnya bergulat berusaha keluar dari krisis multidimensi sampai dengan detik ini. Kita masih ingat bagaimana kebohongan yang disiarkan oleh televisi RI  ke seluruh pelosok tanah air dalam acara temu wicara Soeharto dengan para petani, anggota koperasi, guru dan pegawai negeri yang sudah direkayasa sebelumnya. Kita masih ingat gaya "dalang" dari Harmoko mengumumkan harga cabe keriting atau kol nenek setelah sidang kabinet.

Halaman Selanjutnya:
Tags: