Perlukah Soal Ekonomi Diatur dalam Konstitusi?
Kolom

Perlukah Soal Ekonomi Diatur dalam Konstitusi?

Persoalan perubahan pasal ekonomi dalam UUD 1945 muncul kembali ke permukaan saat Sidang Tahunan 2002 akan dimulai. Tahun lalu, perdebatan antar-anggota Tim Ahli menimbulkan polemik, yang akhirnya mengakibatkan mundurnya Prof. Mubyarto dan Prof. M. Dawam Rahardjo dari Tim Ahli Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR.

Bacaan 2 Menit
Perlukah Soal Ekonomi Diatur dalam Konstitusi?
Hukumonline

Setidaknya, ada dua pendapat besar yang bertarung dalam amandemen pasal ekonomi tersebut. Pertama, pendapat yang menuntut agar diadakan perubahan pasal-pasal dalam bidang ekonomi. Pasal utama yang perlu dirombak, menurut pendapat ini adalah Pasal 33, yang dianggap tidak terlalu tegas pengaturannya, sehingga mendorong penguasaan yang terlalu besar dan penghisapan sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok di masa Orde Baru.

Kedua, pendapat yang memandang bahwa perubahan tidak perlu dilakukan sama sekali karena Pasal 33 sudah mengandung semangat 'sosialisme' (Indonesia) yang diusulkan oleh Bung Hatta. Dengan semangat ini, prinsip ekonomi rakyat akan bisa didorong dalam implementasinya.

Tahun lalu, perdebatan ini begitu ramai, sehingga tak kurang dari 4 hari berturut-turut setelah pengunduran diri tersebut, sebuah surat kabar nasional memuat berbagai opini dari para ekonom terkemuka. Teori-teori ekonomi pun dibahas. Sayangnya, tidak satu pun pendapat, setidaknya yang dimuat di media massa, yang mempersoalkannya dari aspek konstitusi itu sendiri. Perlukah konstitusi mengatur "sistem ekonomi"?

Dokumen dasar

Tujuan awal konstitusi (written constitution) modern yang diawali dengan konstitusi Amerika Serikat dan Prancis di abad ke-18 adalah untuk mengatur hubungan kekuasaan dalam negara. Di dalamnya, diatur bagaimana pengelola negara saling berhubungan, yaitu lembaga-lembaga eksekutif, peradilan dan parlemen. Selain itu, bagaimana pengelola negara berhubungan dengan warga negara, yang diatur dalam pasal-pasal hak-hak warga negara dan kewajiban negara.

Konstitusi juga bisa dipandang sebagai pernyataan atau komitmen bersama dari komunitas tersebut. Konstitusi Afrika Selatan 1997 misalnya, merupakan suatu komitmen bersama untuk keluar dari rezim apartheid. Karenanya, di dalamnya diatur pasal-pasal yang secara eksplisit mengakomodasi pluralisme dan membereskan persoalan-persoalan lama hasil rezim apartheid yang perlu dituntaskan, seperti soal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Meski demikian, tidak semua hal dapat dimasukkan ke dalam konstitusi. Berbeda dengan undang-undang, konstitusi punya sifat yang lebih kaku. Ia didesain untuk tidak mudah diubah untuk menjamin secara tertulis jalannya demokrasi. Kalau undang-undang dapat dibuat, dicabut, atau diubah berdasarkan kemauan rezim yang berkuasa (karena dibuat oleh parlemen dan presiden), konstitusi dengan sengaja dibuat lebih kaku, dengan ketentuan yang lebih sulit untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, hal-hal tertentu yang sifatnya dinamis atau teknis tidak dimasukkan dalam konstitusi.

Kebijakan ekonomi

Kembali pada pertanyaan awal: perlukan sistem ekonomi diatur dalam konstitusi? Masalahnya, dari dokumentasi yang ada, perdebatan antara dua pendapat seputar amademen Pasal 33 akhirnya meruncing pada soal "sejauh mana negara mengatur soal ekonomi?".

Halaman Selanjutnya:
Tags: