Mafia Peradilan (I)
Membongkar Praktek Haram Para Mafia Peradilan
Fokus

Mafia Peradilan (I)
Membongkar Praktek Haram Para Mafia Peradilan

Korupsi di lembaga peradilan sudah begitu mendarah daging. Di pengadilan, keadilan demikian identik dengan uang ratusan juta hingga miliaran rupiah yang harus disetorkan kepada hakim. Dari kenyataan yang sehari-hari dihadapi para pencari keadilan, seakan mustahil membersihkan pengadilan dari korupsi. Namun, lebih mustahil lagi kalau kita semua rela kondisi sakit ini terus-terusan berlangsung.

Oleh:
Amrie
Bacaan 2 Menit
<FONT SIZE='1' COLOR='#FF0000'><B>Mafia Peradilan (I)</B></FONT><BR>Membongkar Praktek Haram Para Mafia Peradilan
Hukumonline

Dari penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada pertengahan 2002, terungkap bahwa mafia peradilan merupakan korupsi yang sistemik. Seperti penyakit kronis, mafia peradilan melibatkan seluruh pelaku yang ada di lembaga peradilan.

Di peradilan pidana, korupsi melibatkan mulai dari polisi, panitera, pengacara, jaksa dan hakim, serta petugas di Lembaga Pemasyarakatan. Begitu juga yang terjadi di peradilan perdata dan niaga. Pendeknya, tidak ada ruang yang tersisa dan semuanya telah tercemar korupsi.

Dahsyatnya, korupsi di peradilan di Indonesia juga dapat dilihat dari catatan Daniel Kaufmann dalam laporan Bureaucratic and Judiciary Bribery pada 1998. dalam laporan itu dikatakan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia adalah yang paling tinggi di antara negara-negara Ukraina, Venezuela, Russia, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan, serta Singapura.

Dari penelitian yang dilakukan di sejumlah peradilan umum di wilayah Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makasar dan Samarinda, ICW menemukan bahwa korupsi di pengadilan telah memiliki pola-pola tertentu. Mulai dari yang paling sederhana hingga modus yang paling mutakhir. Rupanya, korupsi di pengadilan mengikuti tren era reformasi, di mana pers banyak memberitakan korupsi yang dilakukan oleh hakim, jaksa, maupun pengacara.

Untuk menggambarkan betapa ganasnya korupsi di peradilan, ICW mengatakan bahwa sampai petugas parkir di pengadilan pun tidak ketinggalan. Bahkan, ICW tidak lupa memberikan gelar "juara korupsi" bagi pengadilan karena dinilai telah mampu membina praktek korupsi secara massal dan di seluruh tingkatan birokrasi di institusi tempat masyarakat mencari keadilan tersebut.

Ketika Orde Baru runtuh dan pers mendapatkan lagi kemerdekaannya, tampak jelas betapa bobroknya lembaga peradilan. Yang lebih memprihatinkan adalah kenyataan bahwa reformasi tidak hanya meruntuhkan kekuasaan otoriter dan lembaga peradilan menjadi independen. Namun, korupsi peradilan pun ikut menjadi independen dan tidak terkontrol.

Khusus mengenai peran pers dalam mafia peradilan, ICW mencatat beberapa fakta yang menunjukan bahwa para pelaku korupsi di pengadilan, khususnya para pengacara, juga menjalin hubungan yang erat dengan kalangan jurnalis yang bisa diajak 'main mata'.

Halaman Selanjutnya:
Tags: