Tap MPR No. III/MPR/2000 Dianggap Bermasalah
Berita

Tap MPR No. III/MPR/2000 Dianggap Bermasalah

Jakarta, hukumonline. Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dianggap bermasalah karena meletakkan Perpu di bawah UU. Padahal, dua produk hukum itu dinilai sederajat.

Oleh:
Nay/Rfl
Bacaan 2 Menit
Tap MPR No. III/MPR/2000 Dianggap Bermasalah
Hukumonline

Hal itu dikemukakan pakar hukum tata negara Universitas Pajajaran, Prof Sri Soemantri. Menurutnya, Tap MPR No. III/MPR/2000 mengandung keanehan karena meletakkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) di bawah UU. Padahal, jelas, Perpu dimaksudkan sebagai pengganti UU.

"Namanya saja Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Artinya, Perpu itu sebetulnya sederajat dengan UU," ujar Sri. Ia menambahkan, dibuatnya Perpu karena waktu yang mendesak. Sementara untuk membuat UU tak mungkin. Itulah sebabnya, setelah dibuat, Perpu harus disampaikan ke DPR.

Seperti diketahui, UUD 1945 memang mengatur tentang Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD '45 menyatakan bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu. Lalu dalam ayat (2) disebutkan Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Kemudian ayat (3) menyebutkan, jika tak mendapat persetujuan, Perpu itu harus dicabut.

Dalam dua kali perubahan UUD '45, pasal tentang Perpu itu sama sekali tak diutak-atik. Padahal, tak sedikit yang beranggapan bahwa ketentuan tentang Perpu itu cerminan tak demokratisnya UUD '45. Sebab, melalui mekanisme Perpu, Presiden bisa menetapkan apa saja. Perpu dengan materi setingkat UU itu otomatis akan berlaku, paling tidak hingga diajukan ke DPR dalam persidangan berikutnya.

Karena materinya setingkat UU itulah, dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan RI,  Perpu diletakkan berdampingan dengan UU. Nah, ternyata, dalam Tap MPR No. III/MPR/2000, yang dimaksudkan sebagai penggantian Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, anggota MPR membuat kekhilafan. Perpu diletakkan di bawah UU.

Berbeda pendapat 

Menurut Sri Soemantri, sebelum Sidang Tahunan (ST) MPR, ia sudah mengemukakan hal itu. Sri menyampaikannya pada saat konsultasi Badan Pekerja (BP) MPR dengan tim pakar. Selain Sri Soemantri,  dua pakar lainnya (Dr. Adnan Buyung Nasution dan Prof Bagir Manan) juga menyampaikan hal yang sama.

Ternyata anggota Panitia Ad Hoc (PAH II) BP MPR yang menggodok rancangan ketetapan itu tak menggubrisnya. "Saya tidak tahu, kok akal sehat anggota MPR bisa hilang," ujar Sri, kesal.  Solusinya, menurut Sri, Tap MPR itu harus dicabut tahun depan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: