Meski Menang di PT TUN dan ILO
PT DKI Jakarta Kalahkan Buruh Shangrila
Fokus

Meski Menang di PT TUN dan ILO
PT DKI Jakarta Kalahkan Buruh Shangrila

"Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Enam orang bekas karyawan Shangrila Hotel terancam membayar ganti rugi Rp20,7 miliar. Rumah dan harta benda mereka pun terancam disita pengadilan. Nasib apes itu harus dihadapi keenam aktivis buruh setelah Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menyatakan permohonan banding mereka tidak dapat diterima.

Oleh:
MYs/APr
Bacaan 2 Menit
<FONT SIZE='1' COLOR='#FF0000'><B>Meski Menang di PT TUN dan ILO</B></FONT><BR>PT DKI Jakarta Kalahkan Buruh Shangrila
Hukumonline

Akibat keputusan itu, sejumlah buruh sempat mengadakan aksi damai di belakang hotel sejak Rabu (28/9) lalu. Untunglah, aksi yang disertai gelar spanduk itu sudah berakhir pada Rabu (4/9) ini.

Namun, Wastu Widanto, Senior Manager Shangrila Hotel, mengakui bahwa aksi buruh sempat berdampak pada aktivitas hotel. "Memberikan citra buruk bagi tamu-tamu yang 95 persen merupakan pebisnis internasional," cetus Wastu kepada hukumonline. 

Aksi para buruh tersebut memang dilatarbelakangi vonis yang baru saja diterima keenam karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Mandiri Shangrila (SPMS). Mereka adalah Adeng Surachman, Valentinus Wagiyo, Edy Hudiyanto, M. Zulrachman, Isep S. Mubarok, dan Hermasari Dharmabumi.

Dalam amar yang dijatuhkan pada 15 Juli lalu, majelis hakim pimpinan M. Ridwan Nasution -anggota lain adalah Hasan Basri Pase dan Marjatmo- menyatakan permohonan banding dari keenam Tergugat tidak dapat diterima (niet onvankelijk). Di samping itu, para Tergugat diwajibkan membayar biaya perkara Rp150 ribu.

Penolakan permohonan banding buruh SPMS oleh PT DKI Jakarta mengundang reaksi keras dari aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mereka mengecam pengadilan yang seharusnya memihak kepada orang-orang yang tertindas ternyata lagi-lagi memenangkan pihak kapital.

"Para aktivis buruh yang untuk hidup sehari-hari saja sudah sangat mengalami kesulitan keuangan, diancam membayar 'ganti rugi' yang tak kepalang tanggung kepada pihak pemodal yang kaya raya!," tulis aktivis LBH. Itu karena, keenam buruh itu menghadapi ancaman riil diusir dari rumah masing-masing karena pasti tidak mampu membayar ganti rugi.

Melampaui tenggang waktu

Majelis hakim berargumen bahwa para Tergugat telah terlambat menyatakan banding. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan kasus ini pada 1 November 2001. Namun, para tergugat baru mengajukan banding pada 16 November. Menurut majelis, tenggang waktu tersebut telah melewati batas waktu maksimum 14 hari. 

Majelis memang mendasarkan putusannya pada surat yang disampaikan Panitera PN Jakarta Selatan. Surat dimaksud adalah Keterangan Terlambat Mengajukan Banding yang dibuat oleh Suratno, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Selatan. Dalam suratnya, Suratno membenarkan bahwa para Tergugat/Pembanding telah melampaui waktu tenggang waktu yang ditentukan undang-undang.

Dalil majelis langsung dibantah oleh Ody Hudiyanto, salah seorang Tergugat yang juga Sekretaris SPMS. Ia menilai putusan majelis sangat aneh. Sebab, begitu majelis hakim PN Jakarta Selatan -saat itu dipimpin I Gde Putra Jadnya- selesai membacakan putusan, para terdakwa dan kuasa hukumnya sudah menyatakan banding. "Kami langsung menyatakan banding kok," katanya.

Menurut Ody, meskipun pihaknya dianggap terlambat mengajukan memori banding, itu lebih disebabkan kesulitan mengumpulkan uang sebesar Rp 700 ribu sebagai biaya administratif di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan. "Mengumpulkan uang sebanyak itu bukan pekerjaan mudah bagi kami," ujar Ody.

Bisakah pernyataan lisan di depan sidang dianggap sah sebagai memori banding? Majelis hakim mendalilkan argumennya pada Pasal 7 ayat (1)  UU No. 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. 

Disebutkan bahwa permohonan banding atas putusan PN hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung hari berikutnya setelah putusan tersebut diucapkan. Cuma, dalam pasal dan ayat yang sama, disebutkan bahwa permohonan banding dapat diajukan baik melalui surat maupun lisan. Itu sebabnya, Ody memastikan bahwa pihaknya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 

Selain alasan di atas, Ody juga mengeluh soal uang administrasi yang harus mereka bayar saat mendaftarkan banding. Keluhan Ody soal uang tersebut terasa sangat kontras dengan kewajiban yang harus mereka tanggung.

Pada 1 November tahun lalu, PN Jakarta Selatan menyatakan Ody dan kawan-kawan melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara merusak fasilitas Hotel Shangrila saat terjadi mogok buruh di hotel berbintang lima tersebut. Selain diwajibkan membuat pernyataan maaf di lima surat kabar nasional, mereka juga dihukum membayar ganti rugi Rp 20,7 miliar.

Putusan PT DKI Jakarta ditanggapi Tim Advokasi Pekerja Shangrila sebagai 'legitimasi viktimisasi aktivitis serikat buruh atas nama formalitas hukum'. Majelis hakim dianggap tidak menggali rasa keadilan materil dengan dalih formalitas. Oleh karena itu, tim advokasi menyatakan keprihatinan yang mendalam atas putusan tersebut.

Pandangan berbeda disampaikan oleh Wastu Widanto. Menurut Wastu, pihaknya menyambut baik putusan PT DKI Jakarta yang tidak dapat menerima banding para buruh. Meskipun demikian, manajemen Shangrila akan terus mengikuti perkembangan kasusnya di pengadilan. "Sejauh ini kami mengikuti terus proses hukumnya di pengadilan," kata Wastu.

Menang di PTTUN dan ILO

Salah satu argumen pihak SPMS adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dan International Labour Organization (ILO). Pada 26 Maret lalu, PTTUN Jakarta sudah memenangkan gugatan buruh terhadap PT Swadharma Kerry Satya.

Majelis hakim pimpinan Marcus Lande memerintahkan pengelola Hotel Shangrila untuk mempekerjakan kembali karyawan yang di PHK. PTTUN juga memerintahkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) untuk membatalkan SK pemecatan para karyawan.

Tiga bulan setelah putusan PTTUN, tepatnya 21 Juni 2002, ILO juga menyatakan bahwa putusan PN Jakarta Selatan yang menghukum keenam aktivis buruh Shangrila sebagai salah satu bentuk tindakan anti serikat buruh dan pemberangusan para aktivis perburuhan. Hal ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi buruh secara sistematis.

Kasus PHK buruh Shangrila Hotel memang sempat mencuat ke dunia internasional. Kalangan aktivis yang tergabung dalam SPMS menyurati lembaga-lembaga perburuhan internasional. Hasilnya, kasus ini masuk ke dalam agenda ILO No. 2116.

Jean-Claude Javiller, Direktur Departemen Standar Perburuhan Internasional, sempat menyurati Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bahkan sebulan lalu, special rapporteur PBB asal Malaysia, Param Cumaraswamy, sempat menyinggung kasus Shangrila saat berkunjung ke Indonesia.  

Kasasi

Menurut Wastu Widanto, pihak Shangrila Hotel telah menyatakan kasasi atas putusan PTTUN. Wastu yakin bahwa PHK terhadap karyawan sudah memenuhi prosedur dan mekanisme yang ditentukan undang-undang. Ia juga memaklumi jika kalangan buruh akan mengajukan upaya hukum lanjutan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, berkas kasasi kasus PHK ini sudah ditangani oleh majelis hakim agung beranggotakan HM Laica Marzuki, Chairani A. Wani, dan Paulus Effendi Lotulung.

Sikap senada diungkapkan para buruh. Valentinus Wagiyo, Ketua Umum SPMS, sudah memastikan bahwa pihaknya mengajukan kasasi atas putusan PT DKI Jakarta. "Memori kasasinya akan kami sampaikan segera," katanya. 

Kedua pihak tampaknya masih ngotot mempertahankan argumen masing-masing. Kalau begitu, biarkanlah majelis hakim agung yang akan memberikan keputusan. Siapa tahu di benteng terakhir keadilan itu, kedua pihak menemukan jalan terbaik.

Tags: