Saksi Ahli dari Pande Melihat Ketidakkonsistenan Terminologi
Berita

Saksi Ahli dari Pande Melihat Ketidakkonsistenan Terminologi

Jakarta, hukumonline. Istilah "tagihan" dan "kewajiban" sering digunakan tidak konsisten dalam peraturan pelaksanaannya. Hal ini diungkapkan saksi ahli dalam persidangan kasus Bank Bali dengan terdakwa Pande Lubis

Oleh:
Ahmad Fikri Asse
Bacaan 2 Menit
Saksi Ahli dari Pande Melihat Ketidakkonsistenan Terminologi
Hukumonline

Persidangan kasus Bank Bali dengan terdakwa Pande Lubis di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (18/9) menghadirkan saksi ahli Suryanto. Direktur Bank Tabungan Negara (BTN) ini diajukan oleh terdakwa.

Dalam keterangannya, Suryanto menjelaskan apa yang disebut dengan perjanjian swap and money market. Suryanto menerangkan bahwa transaksi-transaksi tersebut sebenarnya dilakukan untuk memenuhi ketersediaan likuiditas, baik dalam bentuk rupiah maupun valuta asing, serta untuk hedging nilai tukar.

"Transaksi-transaksi tersebut merupakan transaksi yang biasa dilakukan baik oleh bank pemerintah maupun bank umum nasional," ujarnya.

Suryanto menyarankan, berkaitan dengan perjanjian swap dan money market tersebut, pihak bank yang akan melakukan transaksi sewajarnya mengetahui kondisi dari pihak bank mitra transaksinya. Hal ini dimaksudkan agar kewajiban-kewajiban dalam transaksi yang dilakukan oleh bank tersebut dapat terselesaikan dan tidak terjadi keterlambatan pembayaran yang bisa menyebabkan terhambatnya ketersediaan likuiditas.

Suryanto juga menyatakan bahwa ia melihat ketidakkonsistenan, khususnya berkaitan dengan masalah terminologi, antara Kepmenkeu No. 26 Tahun 1998, dengan peraturan lainnya, dalam hal ini SKB 1 dan SKB 2.

Kewajiban dan tagihan

Terminologi yang dimaksud Suryanto khususnya tentang terminologi "kewajiban" dan "tagihan", yang menurutnya sering ada ketidakkonsistenan dalam peraturan pelaksanaannya.

Sebagaimana yang dimaksud dalam Kepmenkeu 26 bahwa penjanjinan dilakukan terhadap "tagihan-tagihan" dari bank umum. Istilah tagihan ini sering kali dibingungkan dengan istilah kewajiban.

Menurut Suryanto, "tagihan" itu ada di pihak kreditur, dan hak dari deposan serta simpanan dari nasabah bank umum tersebut yang dijaminkan oleh pemerintah. Sementara istilah "kewajiban" berarti kewajiban bank yang melekat pada bank debitur. "Ini membingungkan dan tidak konsisten," ujar Suryanto di muka sidang.

Saksi Suryanto juga menjelaskan bahwa dalam kondisi saldo debet pun sebenarnya tidak masalah jika suatu bank melaksanakan transaksi swap dan money market. "Itu 'kan memang tujuan dari transaksi tersebut, yaitu untuk memenuhi ketersediaan likuiditas, " jelas Suryanto.

Namun saksi tak bisa menjelaskan apakah transaksi-transaksi swap and money market yang dilakukan antara Bank Bali dengan Bank BDNI termasuk yang dijaminkan. Menurut saksi, ia tidak mendalami SKB 1 dan SKB 2.

Saksi a de charge

Sebelumnya, saksi Suryanto pernah diajukan sebagai saksi a de charge oleh pihak Pande lubis. Namun, kesaksiannya pada saat itu ditolak oleh hakim. "Suryanto, SH tidak mempunyai kualitas untuk dijadikan sebagai saksi a de charge," jelas Putera Jadnya di muka sidang pada 7 September 2000.

Pada saat itu, majelis hakim menilai bahwa keterangan yang diberikan oleh Suryanto bukanlah merupakan keterangan saksi a de charge sebagaimana diinginkan oleh Pande dan kuasa hukumnya. Namun menurut hakim, keterangan Suryanto yang diberikan saat itu sudah merupakan keterangan dari seorang saksi ahli.

Sidang kasus Bank Bali ini akan dilanjutkan pada Senin depan (25/9) dengan agenda pemeriksaan terdakwa Pande Lubis. Adakah kejutan baru dalam kasus Bank Bali? Kita tunggu saja.

Tags: