Rebutan Klien Antar-Law Firm, Etiskah?
Fokus

Rebutan Klien Antar-Law Firm, Etiskah?

Survei terhadap 396 responden pengacara menghasilkan angka fantastis. Sebanyak 90,2 persen di antaranya, mengaku pernah melakukan pelanggaran kode etik.

Oleh:
Mys/Tri/APr
Bacaan 2 Menit
Rebutan Klien Antar-<I>Law Firm</I>, Etiskah?
Hukumonline
Perang argumentasi hukum di pengadilan sudah biasa bagi pengacara. Pengacara mana pun pasti berusaha dengan segala cara untuk memenangkan kliennya. Tapi kalau perang terjadi di luar sidang, gara-gara memperebutkan klien pula, itu yang menjadi masalah. Urusan klien bisa tidak beres. Namun, itulah yang kini terjadi antara Law Offices Rufinus Hotmaulana & Partners (RHH) melawan Warens & Achyar Law Firm.

Perseteruan kedua firma hukum tersebut merupakan buntut sengketa panjang antara Imperical Chemical Industries (ICI) Omicron BV melawan PT Dwi Satrya Utama (DSU) dan PT ICI Paints Indonesia. Kebetulan, para pengurus perusahaan tadi  sedang berurusan hukum di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Baik RHH maupun Warens & Achyar mengaku mendapat kuasa yang sah dari PT ICI Paints Indonesia. Celakanya, perseteruan kedua firma hukum sudah dilakukan secara terbuka melalui serangkaian pengumuman di media massa.

Mula-mula, Warens & Achyar yang membuat pengumuman di harian Kompas, 29 Agustus 2002. Ditegaskan bahwa Warens & Achyar sudah ditunjuk sebagai corporate lawyer dari PT ICI Paints Indonesia sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Empat hari kemudian, tepatnya 2 September 2002, Rufinus membuat pengumuman bantahan di media yang sama. Rufinus menegaskan bahwa pemberi kuasa PT ICI Paints Indonesia belum pernah mencabut kuasanya terhadap Law Offices Rufinus Hotmaulana & Partners. Rufinus justru menilai Warens & Achyar membuat pengumuman yang tidak sah.

Feizal Syahmenan, pengacara dari Warens & Achyar, memberi jawaban. Ia mengaku heran dengan tudingan miring Rufinus. Sebab, pihaknya merasa tidak pernah mengambil alih, apalagi merebut klien Rufinus. "Kalau dibilang nyolong kliennya, kapan nyolong-nya. Kami ditunjuk menjadi kuasa kok, bukan meminta-minta," ungkapnya kepada hukumonline.

Itu pula sebabnya, berselang dua hari sejak bantahan Rufinus, Warens & Achyar kembali membuat pengumuman tanggapan atas bantahan. Tanggapan yang ditanda tangani MG Resmanto dan Feizal Syahmenan itu menilai bantahan Rufinus tidak benar dan menyesatkan. Gugatan No. 059 yang dimaksud Rufinus, misalnya, bukanlah antara DSU melawan pribadi dua orang direksi perseroan, melainkan dengan ICI. 

Berdasarkan salinan yang diperoleh hukumonline, pada 27 Agustus 2002 tiga orang Direktur ICI Paints Indonesia membuat Surat Pernyataan Pencabutan Surat Kuasa dan Penunjukan. Ketiga Direktur dimaksud adalah Inderadi Kosim, Zahari bin Mahfudz, dan Ray Sparks. Dalam surat tersebut, tegas dinyatakan bahwa surat kuasa kepada RHH dicabut seluruhnya. Bahkan, hubungan hukum antara ICI dengan RHH pun dinyatakan berakhir.

Pada hari yang sama, ketiga direktur tadi juga membuat Surat Kuasa Khusus kepada 13 orang pengacara dari Warens & Achyar Law Firm. Salah satu alasan pencabutan itu karena adanya benturan kepentingan sehubungan dengan munculnya gugatan RHH terhadap dua direktur ICI di PN Jakarta Selatan. Dalam perkara no. 059/Pdt.G/2002 itu, Rufinus bertindak selaku pengacara DSU.

Menurut Feizal, surat kuasa yang diterima oleh Rufinus adalah untuk dan atas nama perseroan PT ICI Paints Indonesia, bukan pribadi-pribadi dari dua orang direktur penandatangan surat. Oleh karena itu, tiga direktur lain pun punya hak yang sama untuk mencabut surat kuasa tersebut.   

Bermula dari RUPS
Kasus ini sebenarnya berawal dari hubungan bisnis antara ICI Omicron, sebuah perusahaan yang berpusat di Inggris, dengan mitra lokalnya PT DSU. Pada 1970, kedua perusahaan membentuk perusahaan patungan bernama PT ICI Paints Indonesia.

Komposisi saham PT ICI Paints Indonesia adalah 55 persen Omicron dan 45 persen milik DSU. Dari segi kepengurusan, tiga dari lima orang direksi ICI --Inderadi Kosim, Zahari bin Mahfudz dan Ray Sparks-- berasal dari Omicron. Sisanya, dua orang lagi --Yoesoef Santo dan Clay T. Subrata -- berasal dari DSU.

Selama bertahun-tahun, operasional perseroan yang memproduksi cat bermerek Dulux itu berjalan lancar. Hingga perseteruan muncul pada 1996, seiring dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Rupanya, timbul beda pendapat mengenai penyesuaian sejumlah aturan Anggaran Dasar (AD) Perseroan dengan UU baru tersebut. Termasuk, masalah saham, posisi presiden komisaris, dan kompensasi. 

Belakangan, beda pendapat itu berujung ke pengadilan. Pangkal persoalan adalah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa pada 13 Agustus 2001.

Rufinus mempersoalkan keputusan Rapat yang mengangkat Zahari bin Mahfudz, pengusaha asal Malaysia,  selaku direktur perseroan. Patut dicatat, keberadaan Zahari  sempat diadukan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwawea.
Semula, langkah hukum Rufinus membawa hasil. Sebulan setelah gugatan masuk, PN Jakarta Selatan mengeluarkan penetapan yang membatalkan RUPS Luar Biasa tersebut. Dengan demikian, pengangkatan Zahari dianggap tidak sah. Tetapi kemudian, pada 16 Juli 2002 pengadilan mengeluarkan putusan provisi yang bersifat serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Isinya, mengesahkan sususan direksi yang diangkat pada RUPS Luar Biasa.

Konflik kepentingan
Sebelum keluar putusan pengadilan, keabsahan RUPS Luar Biasa 13 Agustus memang sudah dikuatkan melalui surat Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman & HAM, Romli Atmasasmita. Surat tertanggal 12 September 2001 itu menyatakan bahwa RUPS 13 Agustus adalah sah karena dilaksanakan sesuai pasal 73 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.

Sebenarnya, Rufinus sempat mempersoalkan surat Romli tersebut. Sebab, salah satu pihak yang berperkara, yaitu ICI Omicron BV, menggunakan Yusril Ihza Mahendra & Partners Law Firm (kini Ihza & Ihza and Partners) sebagai kuasa hukum. Kuat dugaan adanya konflik kepentingan, lantaran Romli ketika itu--saat ini Romli adalah Ketua BPHN-- bawahan Yusril di Departemen Kehakiman & HAM.

Di samping mengakui RUPS Luar Biasa, PN Jakarta Selatan juga sempat mengeluarkan tegoran (aanmaning) kepada para pihak yang bersengketa. Tegoran yang ditandatangani Lalu Mariyun, Ketua PN Jaksel itu, meminta agar selambat-lambatnya delapan hari setelah menerima tegoran untuk mematuhi isi putusan provisi. Hal itu makin diperkuat oleh surat izin eksekusi dari M. Ridwan Nasution, Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, 15 Agustus lalu.

Menurut Feizal Syahmenan, saat pihaknya mengecek ke PN Jaksel, ternyata putusan tersebut sudah dilaksanakan. Paling tidak ada dua hal penting yang sudah dilaksanakan. Pertama, pencairan rekening ICI yang selama ini dibekukan berdasarkan Penetapan PN Jaksel 4 Oktober 2001.

Kedua, susunan direksi perseroan. Pekan lalu, tepatnya 27 Agustus, sudah diadakan Rapat Direksi Perseroan di hadapan notaris Rismalena Kasri. Hasilnya? Susunan direksi tetap seperti semula. Nama Zahari bin Mahfudz tetap masuk sebagai salah seorang dari lima direktur perseroan.

Melanggar kode etik?
Rebutan klien antar pengacara bukan kali ini saja terjadi. Berdasarkan catatan hukumonline, Mei 2002 dunia hukum Indonesia sempat dihebohkan pengusiran Petrus Bala Pattiyona saat membela Tatang dan Rahmat, dua saksi kasus Tommy Soeharto. Petrus diusir secara paksa dari ruang pemeriksaan saksi oleh aparat Polda Metro Jaya.

Polisi berdalih bahwa Tatang dan Rahmat sudah punya pengacara baru, yaitu Farhat Abbas. Sementara, Petrus bersikukuh bahwa dirinya masih menjadi kuasa hukum yang sah dari kedua saksi. "Sampai saat ini, saya masih kuasa hukum mereka karena tidak ada pemberitahuan lewat media komunikasi apa pun," teriak Petrus saat itu.  Protes Petrus tak berhasil. Nyatanya, yang mendampingi Rahmat dan Tatang dalam pemeriksaan adalah Farhat Abbas. 

Kasus serupa juga pernah terjadi di Bali pada 1996. Kala itu, yang menjadi rebutan adalah Will, bos ecstacy asal Belanda. Semula, Will memberikan kuasa kepada Futichah Qudratin-Suci Purwati. Eh, tiba-tiba ia menunjuk pasangan Agus Saputra-Robert Khuana. Setelah diselidiki, ternyata perubahan itu berkat kunjungan Agus dan Khuana ke dalam sel Will. Alhasil, Futichah dan Suci melaporkan kedua rekan profesinya itu ke Polda Bali.

Kasus teranyar terjadi dalam persidangan class action iklan rokok di PN Jakarta Selatan. Dalam repliknya pada Kamis (5/9), Tim Advokasi Hukum Korban Iklan Rokok (TAHKIR) mempersoalkan keberadaan Hinca IP Panjaitan selaku kuasa hukum tergugat PT Citra Lintas Indonesia, PT Metro Perdana Indonesia Advertising, dan PT Jurnalindo Aksara Grafika.

Apa pasal? Rupanya sejak awal, Hinca termasuk salah satu tokoh yang memprakarsai somasi kepada para Tergugat. Ketika ia tiba-tiba menjadi pengacara sebagian Tergugat, itu dianggap melanggar etika profesi dan bertentangan dengan nurani penasehat hukum.

"Tidak mungkin sebagai penasehat hukum (Hinca) berada pada dua kaki yang berbeda," kata Tulus Abadi, anggota TAHKIR dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Tulus berjanji akan melaporkan Hinca ke Dewan Kehormatan Kode Etik Advokat.

Hinca sendiri ketika dihubungi hukumonline, membantah seluruh tudingan Tulus. "Semua itu bohong. Saya tidak pernah mengajurkan atau memprakarsai teman-teman LSM untuk mengajukan somasi atau menggugat iklan rokok, sehingga tidak ada pelanggaran etika yang saya langgar," papar Hinca, yang juga menantang penggugat untuk membuktikan tundingannya tersebut.

Sering melakukan pelanggaran
Kasus semacam itu memang sering kali terjadi. Menurut praktisi hukum Frans Hendra Winarta, seharusnya masing-masing pengacara bisa bersikap bijaksana. Di mana sebelumnya, kalau memang pengacara B mengetahui bahwa kliennya pernah berhubungan dengan pengacara A, sebaiknya pengacara B mengkofirmasikannya kepada pengacara A. Apakah kuasanya sudah dicabut, dan segala masalah administrasinya sudah diselesaikan.

Atau mungkin juga, klien memang menginginkan kedua pengacara A dan B bisa merepresentasikan hak-haknya. Tapi kalau memang tidak, klien harus menentukan secara tegas mana di antara kedua pengacara tersebut yang akan ia pilih. "Jadi hal ini bukanlah pelanggaran etik," ujar Frans, yang juga advokat senior ini. 

Tapi kalau mengenai soal seorang pengacara yang awalnya mewakili pihak penggungat, tapi kemudian ia menjadi pengacara tergugat, hal ini merupakan bentuk pelanggaran kode etik serius, meski itu baru pada tahap somasi. "Pengacara itu punya confidential agreement dengan kliennya. Dan itu harus tetap dijaga, meski ia sudah tidak lagi menjadi kuasa hukumnya," papar Frans.

Sementara itu, berdasarkan kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), advokat atau pengacara di Indonesia sering melakukan pelanggaran kode etik. Survei terhadap 396 responden menghasilkan angka fantastis. Sebanyak 90,2 persen di antaranya, mengaku pernah melakukan pelanggaran kode etik.

Memang, pelanggaran kode etik yang sering dilakukan adalah penyuapan, benturan kepentingan, dan kerahasiaan informasi. Tetapi, yang tak kalah sering dilakukan adalah persaingan tidak sehat antarsesama advokat. Misalnya, merebut klien, memasang iklan, menjelek-jelekkan advokat lain, dan intimidasi terhadap teman sejawat.

Sebenarnya, berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Menteri Kehakiman pada 1987, pengacara bermasalah dapat ditindak. Cuma, tidak ada alasan yang spesifik mengenai rebutan klien. Pasal 3 hanya menyebut lima alasan yang dapat dijadikan untuk menindak penasehat hukum.

Pertama, mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya. Kedua, berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau kuasanya. Ketiga, berbuat, bertingkah laku, bertukar kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat kepada hukum, undang-undang, kekuasaan umum, pengadilan dan pejabatnya.

Keempat, berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban atau bertentangan dengan kehormatan atau martabat profesinya. Kelima, melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku.

Bahkan, larangan merebut klien teman sejawat sudah diatur dalam pasal 5 huruf d Kode Etik yang disusun Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Disebutkan dengan tegas bahwa 'advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat'. Jadi, sesama advokat dilarang saling menggaet klien.
Tags:

Berita Terkait