Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban
Fokus

Jika Haatzai Artikelen Kembali Makan Korban

Persidangan terhadap dua aktivis yang dituduh menghina Presiden dan Wakil Presiden kembali digelar. Kali ini acara mendengarkan keterangan saksi dari pihak terdakwa. Mampukah kesaksian ketiganya melepaskan terdakwa dari pasal-pasal karet KUHP atau yang dikenal sebagai haatzai artikelen itu? Terdakwa mengaku siap menanggung resiko hukuman.

Oleh:
MYs/APr
Bacaan 2 Menit
Jika <i>Haatzai Artikelen</i> Kembali Makan Korban
Hukumonline

Sungguh apes nasib Muzakkir, pemuda 21 tahun yang sehari-hari berjualan di pasar Ciledug. Bersama rekannya Nanang Samija, Muzakkir seperti tinggal menghitung hari. Hari-hari belakangan menjadi saat-saat menentukan bagi mereka berdua. Betapa tidak, mereka diseret ke pengadilan dengan tuduhan seram : menghina Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

 

Sidang lanjutan perkara ini digelar di PN Jakarta Pusat (25/9). Sejumlah aktivis Gerakan Pemuda Kerakyatan (GPK) hadir di dalam ruang sidang. Mereka rata-rata memakai T-shirt bertuliskan "Turunkan Mega-Hamzah". Sementara di luar ruang sidang, mereka menggelar spanduk bertuliskan "Rakyat Bersatulah Bentuk Pemerintahan Transisi" dan "Rakyat Miskin Bebaskan Tapol Napol".

 

Dalam sidang tersebut, kuasa hukum terdakwa menghadirkan seorang saksi, yaitu Ricky Tamba. Dalam kesaksiannya, Sekretaris Jenderal GPK itu menegaskan bahwa aksi demo yang menjadi dasar tuduhan terhadap Nanang dan Muzakkir adalah tanggung jawab GPK. "Sebab aksi di depan Istana itu merupakan keputusan organisasi," ujar Ricky. Cuma, Ricky mengakui ia tidak melihat langsung terjadinya aksi happening art yang digelar Nanang dan Muzakkir.

 

Kesaksian Ricky memang belum bisa membebaskan kedua terdakwa dari LP Salemba. Yang terjadi adalah, jaksa tetap menjerat keduanya dengan Pasal 134 dan 137 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka terancam hukuman enam tahun penjara. Dan jangan salah, pasal-pasal itulah yang dikenal sebagai pasal karet, penafsirannya bergantung kepada selera penguasa saat itu.

 

Sebenarnya, pasal-pasal haatzai artikelen itu sudah tidak segarang dulu. Di zaman Orde Baru, orang yang demo dan meminta seorang pejabat turun bisa dikenai tuduhan itu. Sementara di era reformasi, pemakaiannya cenderung lebih selektif.

 

Meskipun demikian, menurut pakar hukum pidana Prof. Muladi, pejabat Pemerintah jangan terlampau gampang menggunakan pasal peninggalan kolonial itu. "Di Belanda saja, dari mana pasal itu berasal, haatzai artikelen itu sudah dihapus kok," kata mantan Menteri Kehakiman itu kepada hukumonline.

 

Mungkin banyak pengamat berpandangan seperti Prof. Muladi. Tetapi kedua terdakwa tidak boleh anggap sepele atas tuduhan jaksa. Tanda-tanda mereka bisa terjaring sudah mulai tampak di persidangan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Halaman Selanjutnya:
Tags: