Law Summit II: Niat Besar, Program Setengah Hati
Fokus

Law Summit II: Niat Besar, Program Setengah Hati

Semangat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum patut diacungi jempol. Sayangnya, niat itu tidak diimbangi komitmen pejabat. Selain itu, penyusunan rancang tindak terkesan kurang serius. Sekadar formalitas?

Oleh:
Nay/APr
Bacaan 2 Menit
<I>Law Summit</I> II: Niat Besar, Program Setengah Hati
Hukumonline

Sebuah perhelatan berjudul Law Summit II digelar di Jakarta (16/10). Pertemuan tersebut memilih tema yang sangat berat, yaitu "Membangun Komitmen Bersama dalam Memulihkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Supremasi Hukum".

Dalam kondisi seperti saat ini, memulihkan kepercayaan masyarakat jelas merupakan tindakan yang sama sekali tidak ringan. Saat ini, masyarakat berada dalam suatu kondisi yang sudah tidak percaya kepada pemerintah, termasuk kepada aparat penegak hukum. Tidak terkecuali, terhadap wakil-wakil mereka di parlemen yang dianggap menghianati kepercayaan.

Ketidakpercayaan itu tercermin dalam berbagai hal, mulai dari ogahnya masyarakat berurusan dengan polisi, pencuri dan pencopet yang dibakar oleh masyarakat, sampai tidak adanya kepercayaan  bahwa aparat hukum akan dapat menangkap dan mengadili koruptor atau pelaku peledakan bom dengan adil.

Sementara itu, tema pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum malah menimbulkan pertanyaan apakah selama ini memang sudah ada supremasi hukum di negeri ini. Apakah benar hukum telah menjadi panglima di tanah air ini?

Karena itu, niat penyelenggara Law Summit II untuk membangun komitmen bersama untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, jelas bukan pekerjaan main-main. Apalagi, selama ini banyak kritik yang menyebutkan pemerintah tidak mempunyai grand design dan strategi untuk perbaikan hukum. Akibatnya, perbaikan hukum hanya bersifat parsial dan bergantung kepada itikad baik pejabat masing-masing institusi yang bersangkutan.

Karena itu, langkah yang dilakukan tim persiapan Law Summit--yaitu menyiapkan draf rancang tindak bersama di bidang hukum dan peradilan (action plan)  mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaiki hukum dan peradilan oleh seluruh instansi yang terkait--menjadi suatu langkah yang sangat strategis.

Selain itu, kritik yang ada selama ini selalu menyatakan bahwa salah satu penyebab sangat lambatnya perbaikan hukum dan peradilan adalah akibat tidak adanya political will dari pemerintah untuk melakukan perbaikan tersebut. Misalnya, tidak adanya political will untuk memberantas korupsi. Yang ada, barulah sekadar pernyataan-pernyataan dan jargon-jargon belaka. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: