Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum:Korupsi dan Sistem Peradilan
Kolom

Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum:Korupsi dan Sistem Peradilan

Undang-undang Dasar 1945 ("UUD 1945") menetapkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Lebih lanjut Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul "Pengertian tentang Negara Hukum" mendefinisikan negara hukum (rechtsstaat) atau government of laws sebagai berikut:

Bacaan 2 Menit
Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum:Korupsi dan Sistem Peradilan
Hukumonline

"Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan dan berasal dari undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata, kekuasaan sewenang-wenang atau kepercayaan bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertikaian dalam negara."

Melihat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling berhubungan satu sama lain. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya. Sebaliknya, kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Sehingga dalam bentuk slogan dapat dikatakan bahwa: "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman."

Dalam suatu negara hukum, asas taat dan hormat pada hukum (respect for law) dapat terwujud apabila pelaksanaan penegakan hukum dilakukan secara tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum. Setiap orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama di hadapan hukum (equality before the law), termasuk juga pihak penguasa dan aparat penegak hukum.

Hukum harus dilaksanakan dan dijunjung tinggi oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Dengan kata lain, supremasi hukum (supremacy of law) merupakan syarat mutlak bagi suatu negara hukum. Esensi dari supremasi hukum adalah bahwa kekuasaan itu dilakukan oleh hukum, c.q. undang-undang dan bukan oleh manusia. Justice for all adalah esensi dari pencapaian supremasi hukum dalam praktek sehari-hari.

Namun demikian, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan umum (public welfare) atau mengatasnamakan peraturan hukum sering kali terjadi dalam suatu pemerintahan dari negara yang berdasarkan hukum (pemerintahan konstitusional), termasuk negara Indonesia. Kepentingan umum sering kali tidak dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga interprestasi yang sah dilakukan secara sepihak (justification) untuk membenarkan tindakan pemegang kekuasaan.  Hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan penguasa yang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional.

Terjadinya keadaan tersebut di atas tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 itu sendiri. UUD 1945 menentukan pula bahwa Indonesia menganut paham pembagian kekuasaan (distribution of powers). Pengaturan mengenai pembagian tugas antara cabang-cabang kekuasaan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak diatur secara tegas, sehingga menimbulkan kecenderungan lembaga yang satu lebih kuat dari yang lain.

Hal ini tentu jauh berbeda dengan negara-negara maju yang menganut paham pemisahan kekuasaan atau separation of powers (Trias Politica murni), di mana pengaturan mengenai pembagian kekuasaan dan tugas diantara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif diatur secara tegas. Demikian juga pengaturan mengenai sistem checks and balances di antara badan-badan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: