Penulis "Aku Bangga Jadi Anak PKI" Tak Pernah Diminta Klarifikasi
Berita

Penulis "Aku Bangga Jadi Anak PKI" Tak Pernah Diminta Klarifikasi

Penulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI", Ribka Tjiptaning Proletariati, menyatakan bahwa hingga saat ini dirinya belum pernah dimintai klarifikasi atau keterangan oleh Kejaksaan Agung mengenai buku tersebut. Jangan-jangan, semakin dilarang, buku itu justru akan semakin dicari orang.

Oleh:
MYs/APr
Bacaan 2 Menit
Penulis
Hukumonline

Saat dihubungi hukumonline lewat telepon (21/11), Ribka menegaskan bahwa dirinya tak pernah dipanggil, apalagi dimintai keterangan oleh aparat kejaksaan. Padahal sejak buku itu diterbitkan 1 Oktober lalu, tim Kejaksaan Agung sudah melakukan penelitian. Sepanjang penelitian, tim tak berusaha meminta keterangan dari sang pengarang.

 

Malah, dua pekan lalu, tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (JAM Intel) Basrief Arief itu sudah memberikan rekomendasi kepada Jaksa Agung M.A. Rachman. Hasilnya, tim meminta agar buku tersebut dinyatakan dilarang, atau disita dan ditarik dari peredaran. Tim berargumen, buku tersebut berpotensi menyebarkan kembali faham dan ajaran komunisme di Tanah Air.

 

Buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" (ABJAP) diluncurkan persis pada Hari Kesaktian Pancasila. Buku tersebut berisi otobiografi Ribka dan perjuangan kedua orang tuanya yang ditahan karena terlibat PKI. Saat terjadi peristiwa mengenaskan G.30.S pada 1965, Ribka baru berumur 7 tahun.

 

Pasca peristiwa itu, bapaknya RM Soeripto Tjondrosaputro ditahan karena menjadi anggota PKI. Pengalaman keluarganya menghadapi perlakuan pemerintahan Orde Baru menjadi bagian terbesar isu ABJAP.

 

Namun, tim Kejaksaan Agung berpendapat sebaliknya. Buku itu dinilai berpotensi menyebarkan paham komunisme. Oleh karena penyebaran ajaran komunisme masih dilarang, tim merasa buah karya Ribka itu harus ikut dilarang. Hal itu membuat sang penulis tertawa sinis. "(Menyebarkan) komunisme apa? Mereka baca nggak bukunya secara utuh?" tanya Rifka.

 

Salah paham

Ribka, yang berprofesi sebagai dokter, menyatakan tak akan melakukan apa-apa jika Kejaksaan Agung melarang bukunya beredar atau menyitanya. "Biarkan saja," ujarnya tenang. Cuma, ia mengaku heran kenapa buku-buku lain yang lebih ekstrim tidak diperlakukan sama dengan ABJAP. Nyatanya, kita dapat menemukan buku-buku kiri di berbagai toko buku di Jakarta.

 

Tetapi ia mengaku heran kenapa tim Kejagung sampai berkesimpulan bahwa bukunya menyebarkan faham komunisme. "Lucu kalau buku saya dituduh menyebarkan faham komunis," ujarnya, tertawa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: