Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan
Fokus

Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan

Cuti haid sudah menjadi hak pekerja perempuan, tapi banyak perusahaan seolah tutup mata. Bahkan, sedikit sekali kantor firma hukum yang memberikan cuti haid kepada lawyer perempuannya. Uniknya, para buruh kerah putih rupanya juga tidak banyak yang memanfaatkannya. "Tidak perlu tuh." Lho?

Oleh:
Nay/APr
Bacaan 2 Menit
Hak Cuti Haid : Sisi Manusiawi yang Terabaikan
Hukumonline

Hak cuti haid, seperti juga hak cuti lainnya--cuti tahunan atau cuti melahirkan--tercantum jelas dalam Pasal 13 UU No. 1 tahun 1951 mengenai berlakunya UU No. 12 tahun 1948. Anehnya, pelaksanaan dari hak cuti haid ini tidak sepopuler hak-hak cuti lainnya.

Banyak perusahaan yang tidak memberikan hak cuti haid ini bagi para pekerjanya. Tidak hanya perusahaan yang mempekerjakan buruh-buruh pabrik, tetapi juga perusahaan yang tenaga kerjanya merupakan buruh kerah putih atau yang sering dianggap sebagai kaum profesional.

Perusahaan yang para pekerjanya merupakan buruh kerah putih, misalnya, tidak ragu untuk tidak memberikan hak cuti ini. Padahal, mereka tidak akan berani untuk tidak memberikan hak cuti tahunan atau hak cuti melahirkan.

Dalam Pasal 13 UU No 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya UU Kerja No.12 Tahun 1948 disebutkan bahwa buruh perempuan berhak mendapat cuti haid pada hari pertama dan kedua haid, dengan tetap memberikan upah.

UU No. 1 Tahun 1951 juga menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan normatif--seperti hak cuti, termasuk cuti haid-- dapat diberi sanksi pidana. Artinya, jika ada buruh yang meminta cuti haid, namun perusahaan tidak memberikan, perusahaan itu dapat dikenakan sanksi pidana.

UU No 1 Tahun 1951 yang mengatur mengenai cuti haid dan hak normatif lainnya sebenarnya akan diperbaharui dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK).  Namun karena sampai saat ini RUU tersebut belum diundangkan, masih tetap berlaku UU No 1 Tahun 1951 tersebut. Seperti juga UU No 1 Tahun 1951, dalam RUU PPK ini juga diatur bahwa pekerja wanita mempunyai hak cuti haid selama dua hari. 

Namun menurut pengajar hukum perburuhan Universitas Indonesia, Dr. Aloysius Uwiyono, dalam RUU ini terlihat ada upaya untuk menghapuskan  hak cuti haid. Pasalnya, dalam pasal tersebut ada ayat yang menyatakan bahwa pelaksanaan cuti haid akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Halaman Selanjutnya:
Tags: