UU Penyiaran Ditinjau dari Rezim Hukum Internasional
Kolom

UU Penyiaran Ditinjau dari Rezim Hukum Internasional

Meskipun persetujuan Rancangan Undang-undang (UU) tentang Penyiaran sempat batal dalam Rapat Sidang Paripurna, pada Sidang Paripurna selanjutnya akhirnya disahkan menjadi UU. Aturan ini penuh kontroversi. Ada kalangan yang menilai beberapa ketentuan dalam UU ini dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan. Sebaliknya, UU ini bukan tanpa masalah dan bahkan mengandung bahaya besar.

Bacaan 2 Menit
UU Penyiaran Ditinjau dari Rezim Hukum Internasional
Hukumonline

Dari perspektif kemajuan, isi UU Penyiaran dianggap berpeluang menjamin keragaman informasi, mengakomodasi keberadaan media siaran komunitas dan berpihak pada pekerja penyiaran, serta telah mengadopsi aturan tentang pembentukan sebuah lembaga independen: Komisi Penyiaran Independen (KPI). Sebaliknya, selain dari problem yang langsung berkaitan dengan industri penyiaran-- utamanya perusahaan yang telah menyelenggarakan penyiaran secara nasional--bahaya yang paling besar adalah "kebebasan pers" itu sendiri.

Tulisan ini akan mendiskusikan dan menganalisis kekhawatiran masyarakat dan kalangan pers berkaitan dengan "kebebasan pers" yang terancam oleh pasal-pasal yang dimuat dalam UU. Analisis akan menggunakan rezim hukum internasional yang berlaku saat ini.

Problematik utama isi UU

Secara singkat, problem pertama yang nampak jelas dalam UU yakni, berkaitan dengan posisi dan wewenang KPI dalam menjalankan fungsinya: mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan media siaran. KPI harus melibatkan pemerintah.

KPI juga diharuskan untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menyusun peraturan-peraturan pelaksana. Misalnya, mengenai lembaga penyiaran publik, pembatasan kepemilikan silang, lembaga penyiaran berlangganan, kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing, sistem stasiun jaringan, rencana dan persyaratan teknis siaran, tata cara dan persyaratan perizinan, tata cara pemberian sanksi administratif, serta soal pemberian dan perpanjangan izin siaran.

Selain itu, secara khusus, peluang pemerintah melakukan intervensi, terutama berkaitan dengan wewenang pemerintah untuk melakukan seleksi atau sensor para pihak untuk memperoleh izin penyiaran atau perpanjangan izin. Selanjutnya, wewenang KPI dalam soal izin frekuensi hanya sebatas memberikan usul. Penentu akhirnya berada di pemerintah.

Sementara usulan kalangan pers, UU memuat ketentuan yang meniadakan sama sekali peluang pemerintah melakukan intervensi. Termasuk, soal izin dan penentuan alokasi frekuensi yang diharapkan menjadi kewenangan KPI tanpa ada campur tangan lembaga eksekutif. Merujuk pada ketentuan hukum lainnya--seperti UU Telekomunikasi No 36/1999--masalah penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian frekuensi pada dasarnya bisa dilakukan oleh KPI sebagai badan regulasi independen.

Kedua, adanya aturan yang mewajibkan untuk diselenggarakannya sensor atas film maupun iklan oleh lembaga yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan ini dipercaya menjadi ancaman bagi kebebasan pers. 

Tags: