Hukum Bagi Perempuan:Alat Opressi atau Sarana Pembebasan?
Kolom

Hukum Bagi Perempuan:Alat Opressi atau Sarana Pembebasan?

Tuntutan untuk memperoleh hak﷓hak hukum merupakan perjuangan yang panjang dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Para penganjur kemerdekaan dan perubahan sosial serta para aktivis kontemporer telah lama menuntut adanya perubahan dan reformasi hukum di bidang hak-hak perempuan tersebut. Dalam kongresnya yang pertama pada 1928 misalnya, Perkumpulan Pergerakan Perempuan Indonesia telah menyatakan tuntutannya agar pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi perempuan khususnya dalam hal perkawinan dan perceraian.

Bacaan 2 Menit
Hukum Bagi Perempuan:Alat Opressi atau Sarana Pembebasan?
Hukumonline

Jika ditelusuri, tuntutan ini bahkan telah dimulai sejak era Kartini, yang merasakan betul penderitaan karena kawin paksa dan poligami. Selain itu, para tokoh perempuan juga menuntut adanya perwakilan perempuan di parlemen lokal atau di dewan kota. Para aktivis perempuan juga menuntut berbagai perubahan hukum yang telah mendiskriminasikan perempuan dan menuntut adanya hukum yang melindungi mereka dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan untuk memperoleh hak-hak hukum dan juga tuntutan untuk menerapkan prinsip equality before the law, telah membawa para aktivis perempuan ini dalam perjuangan di arena politik. Kampanye-kampanye politik digelar untuk menuntut adanya perubahan social melalui jalan hukum.

Di era reformasi ini, para aktivis perubahan sosial dan perubahan hukum juga memperoleh beberapa kemenangan dalam melakukan perubahan kebijakan dan hukum bahkan sampai di tingkat amandemen konstitusi. Berbagal konvensi diratifikasi dan berbagai UU diproduksi. Kelompok perempuan misalnya, berhasil memperjuangkan prinsip afirmasi politik dan ekonomi, baik dalam konstitusi maupun dalam Tap MPR.  Namun demikian, status sosial, ekonomi dan politik kaum perempuan dan kaum marginal lainnya tidak banyak berubah.

Terdapat bukti dan data-data yang cukup memiriskan hati bahwa kekerasan terhadap perempuan tetap berlangsung. Bahkan, semakin tinggi tingkat intensitas dan kualitasnya. Demikian pula status kesehatan dan gizi perempuan sangat rendah serta angka kematian ibu sangat tinggi berhadapan dengan UU Kesehatan yang sebagian besar pasalnya mengatur tentang perlindungan hak reproduksi kaum ibu.

Bersamaan dengan hal tersebut, status ekonomi perempuan juga sangat rendah dan ketidaksetaraan dan ketimpangan gender dalam berbagai bidang juga sangat lebar di tengah banyaknya peraturan dan kebijakan yang bertujuan meningkatkan status sosial ekonomi kaum perempuan itu. Bahkan, kaum perempuan tetap dibayar lebih rendah dari laki-laki. Akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, status ekonomi kaum perempuan dan kaum marginal lainnya semakin memburuk. Proses restrukturisasi ekonomi dan masuknya Indonesia pada ekonomi global, memberikan dampak yang luar biasa kepada perekonomian kelompok ini.

Jarak yang terjadi antara hak-hak perempuan yang secara hukum diakui dan dilindungi dengan berlanjutnya ketimpangan dan ketidakadilan gender dan sosial telah menghadapkan para aktivis perempan khususnya di bidang hukum pada berbagai pertanyaan dilematis. Berbagai kelompok mulai mempertanyakan kembali peran hukum dalam meningkatkan status kaum perempuan.

Dalam banyak hal, hukum dan wacana perubahan hukum memainkan peran yang sangat sentral dalam perjuangan dan memberikan makna yang berarti dalam perjuangan politik mereka. Banyak di antara mereka mencari-cari sebabnya pada tiadanya akses terhadap hukum dan pelaksanaan hukum, terutama karena mereka miskin atau buta hukum. Sebagian yang lain memang mempercayai bahwa hukum memang tidak dapat menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, apalagi menghadirkan keadilan bagi mereka.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa persoalannya sangat struktural, yakni bahwa perjuangan untuk adanya perubahan hukum justru memperkuat negara. Pasalnya, negaralah yang dominan dalam menentukan dan merumuskan hukum. Dalam masalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, hukum telah berfungsi untuk menerapkan kembali (reinforce) norma-norma dalam masyarakat patriarkHi yang memang mendiskriminasikan perempuan.

Tidak pernah netral

Pengalaman melakukan kajian dan upaya perubahan hukum ini kemudian menyadarkan banyak kalangan, khususnya kaum perempuan dan kelompok marginal, lainnya bahwa sebagai produk politik hukum tidak pernah netral. Bahkan, sejak rumusan-rumusannya dan apalagi pada pelaksanaannya atau implementasinya. Pengalaman ini menunjukkan, asumsi yang dipercaya orang selama ini bahwa hukum adalah instrumen yang netral dan selalu menghasilkan sebuah keadilan adalah sebuah ilusi belaka.

Pasal 31 dan 34 UUP tentang pembagian dan pembedaan kedudukan dan peran perempuan dalam keluarga atau Pasal 3 UU Perkawinan yang memberikan hak kepada seorang suami untuk berpoligami jika isterinya tidak mempunyai anak, tidak menjalankan perannya dengan baik dan jika ia sakit terus menerus adalah sebuah contoh saja bagaimana hukum mendiskriminasikan perempuan. Demikian pula, UU Kewarganegaran yang tidak rnemberikan hak untuk ikut menentukan kewarganegaraan anaknya kepada seorang ibu Indonesia yang kawin dengan warganegara asing.

Atau di bidang ketanagakerjaan, di mana terdapat larangan bagi perempuan untuk bekerja di malam hari, atau di bawah tanah dan pertambangan. Begitu juga ketentuan pasal 285 tentang perkosaan yang hanya memberikan perlindungan terhadap perempuan-perempuan yang bukan istri pelaku adalah contoh-contoh lainnya yang daftarnya bisa sangat panjang. Ketentuan-ketentuan yang diskriminatif ini bisa kita lacak, bahkan dari tingkat peraturannya yang paling tinggi sampai dengan yang paling rendah.

Belum lagi jika kita berbicara tentang pelaksanaannya di lapangan. Perlakuan-­perlakuan diskriminatif dipertontonkan oleh para penegak hukum dan institusi sosial lainnya. Lebih jauh lagi adalah yang berkaitan dengan budaya hukumnya yang juga mendiskriminasikan perempuan dan juga anak- anak serta kaum miskin dan marjinal lainnya. Lihatlah misalnya Pemda DKI Jakarta, yang atas kuasa Perda 11 tahun 1988, telah menangkapi para perempuan yang dilacurkan dan tidak pengguna jasa mereka. Atas nama ketertiban umum dan tertib sosial, para tukang becak juga digusur dan ditangkapi serta becaknya dirampas. Atas nama hukurn-hukum yang tidak jelas, kaum miskin di banyak tempat di Indonesia digusur dari tempat tinggalnya.

Tags: