Penggantian Kapolri Dinilai Bukan Masalah Hukum
Berita

Penggantian Kapolri Dinilai Bukan Masalah Hukum

Jakarta, hukumonline. Walaupun menyangkut Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI/Polri, masalah penggantian Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) adalah masalah politik, dan bukan masalah hukum. Polemik yang kemudian muncul ke permukaan hanyalah proses politik antara eksekutif dan legislatif.

Oleh:
Nay/Bam/APr
Bacaan 2 Menit
Penggantian Kapolri Dinilai Bukan Masalah Hukum
Hukumonline

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Amin Aryoso setelah menghadiri acara pelantikan hakim agung pada 26 September 2000. "Tap MPR itu kan produk politik, jadi jangan diterjemahkan yuridis formal, tidak bisa itu," ungkap Aryoso. "Semua itu adalah proses politik, bukan hukum dan kalau masalah politik dibawa hukum, sudah tidak tune in lagi," tambah Aryoso.

Aryoso menjelaskan, dalam proses penggantian Kapolri DPR tidak pernah mengatakan bahwa presiden telah atau tidak melanggar Tap Nomor VII/MPR/2000. DPR hanya menyatakan masih akan membicarakannya.

Bahwa dalam kenyataannya sudah terjadi penggantian, Aryoso berpendapat itulah realitasnya, dan apakah penggantian itu benar atau tidak DPR belum membahasnya. "Kemarin DPR tidak gagal membahas hal itu, melainkan  sesuai mekanisme yang ada di DPR,  untuk membicarakan hal itu forumnya bukan seperti kemarin," ujar Aryoso.

Tidak menunggu peraturan pelaksana

Sementara itu, hakim agung Bagir Manan  berpendapat, Tap Nomor VII/MPR/2000 itu berlaku sejak ditetapkan, yakni 18 Agustus 2000. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ketetapan tersebut. Jadi menurut Bagir, keberlakuan Ketetapan MPR, termasuk Tap Nomor VII/MPR/2000 tidak perlu menunggu peraturan pelaksana.

Bagir juga menilai masalah ini bukan lagi masalah hukum, melainkan masalah politik. Jadi biarlah mekanisme politik yang menyelesaikan. Yang diperlukan adalah kesesuaian paham antara DPR dan pemerintah.

Sementara hakim agung lainnya, Muladi, mengemukakan perlu adanya dialog yang baik untuk menyelesaikan polemik tersebut. Menurutnya, dialog itu perlu dilakukan  karena adanya dua pesan, yakni pesan dari Undang-undang (UU) dan pesan dari pemberhentian Kapolri.

Pesan dari UU adalah untuk membatasi kekuasaan presiden dan demokratisasi. Sementara pesan dari pemberhentian Kapolri adalah untuk meningkatkan keamanan nasional. Dua pesan itu, menurut Muladi harus dipertemukan, bukan justeru dikonfrontasikan.

Tags: