Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Rabu (27/9), kembali menggelar sidang permohonan praperadilan dengan pemohon praperadilan hakim agung Marnis Kahar dan Supraptini Suprapto melawan termohon praperadilan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPK).
Acara sidang kali ini adalah mendengarkan duplik TGPK yang disampaikan oleh kuasa hukumnya, Tigor Pangaribuan. Setelah mendengarkan duplik dari termohon praperadilan, sidang hari ini dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti surat dan mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh pemohon praperadilan.
Ahli yang dimintakan keterangannya adalah ahli hukum pidana Prof. Loebby Loqman. Loebby dimintakan keterangannya berkaitan dengan latar belakang lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta keterangan mengenai kewenangan penyidikan dari TGPK.
Tidak berwenang
Dalam keterangannya, Prof. Loebby berpendapat bahwa UU No. 31 Tahun 1999 tidak dapat diberlakukan untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum UU itu diberlakukan. Sesuai azas legalitas, UU 31 Tahun 1999 hanya berlaku terhadap kasus yang terjadi setelah UU ini diberlakukan.
Setelah persidangan, saat ditemui wartawan Prof. Loebby mengatakan bahwa sebenarnya TGPK itu hanya berwenang untuk menyidik kasus kasus sejak dibentuknya TGPK, yaitu 5 April 2000, dan bukan untuk kasus sebelumnya seperti kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh beberapa hakim agung yang dilakukan pada 28 September 1998.
Dengan kata lain, Loebby melihat bahwa TGPK tidak berwenang menyidik kasus dua hakim agung dan satu mantan hakim agung yang diguga menerima suap. Pasalnya, dugaan kasus korupsi itu berlangsung sebelum TGPK terbentuk.
Berkaitan dengan pembentukan TGPK, Loebby mengatakan, tim tersebut hanyalah merupakan jembatan dari pembentukan Komisi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 43. Komisi ini nantinya merupakan komisi independen atau terlepas dari institusi-institusi penyidik yang ada, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan.