Obligation to ContractSuatu Pengecualian dari Asas
Kolom

Obligation to ContractSuatu Pengecualian dari Asas

Obligation to contract dapat diartikan sebagai kewajiban membuat suatu perjanjian berdasarkan undang-undang. Isi perjanjiannya ditetapkan oleh satu pihak dan pihak lain harus menyetujui isi perjanjian tersebut tanpa dapat merubah isi perjanjian tersebut. Obligation to contract merupakan pengecualian terhadap asas kebebasan berkontrak.

Bacaan 2 Menit
Obligation to ContractSuatu Pengecualian dari Asas
Hukumonline

Perjanjian seperti ini terjadi khususnya antara perusahaan penyedia pelayanan kepentingan umum dengan masyarakat (konsumen). Pihak konsumen tidak mempunyai peran untuk dapat mempengaruhi isi perjanjian--seperti dalam hal  pelayanan pos, telekomunikasi dan penyediaan tenaga listrik serta pelayanan transportasi lainnya--karena posisi monopoli perusahaan tersebut dan karena kewajibannya untuk melayani kepentingan umum.

Permasalahannya, bagaimana kalau perusahaan-perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajibannya, sedangkan masyarakat (konsumen) telah memenuhi kewajibannya. Atau bagaimana kalau konsumen telah memenuhi kewajibannya, tetapi pihak perusahaan menolak melakukan perjanjian dengan konsumen tersebut? Hal inilah yang akan dicoba dibahas dalam tulisan ini menurut perundang-undangan Indonesia dan bertitik tolak dari pengalaman hukum perdata Jerman.

Obligation to contract berdasarkan hukum Jerman

Perjanjian--di samping hak milik pribadi--adalah suatu lembaga hukum yang penting dalam suatu prinsip peraturan ekonomi pasar yang liberal. Perjanjian melayani dalam masyarakat industri yang modern semakin kecil sebagai sarana untuk merumuskan dengan pasti hubungan individu yang satu dengan lainnya yang dinegosiasikan berdasarkan hukum. Perjanjian semakin difokuskan dan distandarisasi sebagai perjanjian massal. Kebebasan berkontrak dalam pandangan negara sosial ini bukan lagi proses yang tumbuh secara natural, melainkan suatu even melalui fungsi sosial dibawah pengawasan negara.

Landasan dasar kebebasan berkontrak ditetapkan di dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Dasar Jerman (Grundgesetz) yang merupakan hak dasar setiap individu. Yaitu, kebebasan individu untuk mengembangkan  pribadinya sejauh dia tidak melanggar hak orang lain dan tidak bertentangan peraturan perundang-undangan atau adat istiadat yang berlaku. Kebebasan individu tersebut dibatasi oleh ketentuan Pasal 14 ayat 2 dan pasal 20 ayat 1 UUD Jerman. Dengan demikian, perjanjian sebagai sarana koordinasi tidak difungsikan dalam keadaan yang tidak seimbang yang dikualifikasi untuk sarana supremasi.

Ikatan perjanjian adalah keterkaitan keseluruhan dari ekonomi persaingan. Pelaksanaan langkah pemikiran ini menurut hukum secara konkret berhasil. Khususnya, adanya interpretasi baru yang berorientasi kebijakan peraturan dari pasal 138, pasal 242, pasal 826 KUHPdt Jerman dan dalam rangka materi hukum ekonomi dalam pengawasan membuat perjanjian dan pengawasan isi perjanjian yang agumentatif.

Pada dasarnya, ada dua aspek dari kebebasan berkontrak, yaitu kebebasan membuat (menandatangani) perjanjian dan kebebasan menentukan isi perjanjian. Jika satu pihak akan menandatangani satu perjanjian, pada dasarnya dia tidak harus menerima tawaran tersebut. Karena di sini, pihak yang akan menandatangani perjanjian dapat menolak untuk tidak menandatangani perjanjian tersebut. Tetapi, asas kebebasan membuat (menandatangani) perjanjian mempunyai pengecualian--ada kriteria-kriteria pemaksaaan untuk menandatangi perjanjian tersebut berdasarkan undang-undang--yang disebut dengan obligation to contract. Hal ini khususnya pada sektor-sektor yang menyangkut kepentingan dan pelayanan umum, seperti pada sektor transportasi, telepon, listrik, pos, dan lain-lain.

Jadi melalui obligation to contract yang ditetapkan secara jelas berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan, melahirkan suatu hubungan perikatan yang mengarah kepada kewajiban untuk menandatangani perjanjian melalui declaration of intention. Jika pihak yang berkewajiban melayani umum (misalnya Telkom, PLN) menolak melakukan membuat perjanjian dengan salah satu konsumen untuk sambungan telepon atau aliran listrik, maka  pihak Telkom atau PLN dapat dikenakan ganti rugi tanpa memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 823 ayat 2 dan pasal 826 KUHPdt mengenai ganti rugi. Karena, kelalaian atau kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja berdasarkan ketentuan Pasal 276 dan Pasal 278 KUHPdt Jerman.

Tags: