Kriminalisasi Ajakan Golput Bisa Melanggar Hak Asasi
Berita

Kriminalisasi Ajakan Golput Bisa Melanggar Hak Asasi

Jangan coba-coba mengajak orang lain untuk menjadi 'golongan putih' (golput). Rapat Panja RUU Pemilu di DPR menyepakati, mereka yang mengajak orang untuk tidak mencoblos dalam pemilu diancam bui satu tahun atau denda maksimal Rp 10 juta. Namun, aturan seperti ini bisa dianggap melanggar hak asasi.

Oleh:
Zae/APr
Bacaan 2 Menit
Kriminalisasi Ajakan Golput Bisa Melanggar Hak Asasi
Hukumonline

Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilu pada Senin (03/02) akhirnya menyepakati ancaman hukuman bagi orang menjadi 'golongan putih' (golput). Mereka yang menganjurkan orang untuk tidak memakai hak pilihnya diancam penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp10juta.

Tim perumus RUU Pemilu menyepakati, "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi seseorang yang akan menggunakan haknya untuk memilih diancam hukuman pidana penjara 2-12 bulan dan atau denda 1-10 juta."

Tim perumus juga menyepakati, "Setiap orang yang dengan sengaja memberi/menjanjikan sesuatu kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga surat suara menjadi tidak sah, diancam hukuman penjara 2-12 bulan dan atau denda 1-10 juta."

Namun, pengamat hukum Bambang Widjojanto berpendapat bahwa memilih atau tidak memilih untuk "mencoblos" suatu partai adalah hak. Termasuk, memberikan pandangan dan mengajak orang lain untuk tidak memilih suatu partai alias golput.

Menurut Bambang, mengatur ajakan golput sebagai pelanggaran dalam UU (kriminalisasi) malah bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi. "Hati-hati, itu bisa dianggap melanggar prinsip hak asasi yang sudah dijamin konstitusi," tegas direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) ini kepada hukumonline.

Bambang menjelaskan, tindakan mengajak untuk golput termasuk dalam hak berekspresi. "Pemilu itu hak, terserah seseorang untuk menggunakannya. Menggunakan boleh, tidak juga boleh. Kalau dia tidak menggunakan dan memberitahukan kepada orang lain, tidak ada yang salah. Karena itu hak sih," ujarnya.

 

Patut disayangkan

 

Senada dengan Bambang, Deputi Direktur Eksekutif Cetro Hadar N. Gumay juga mengatakan bahwa ajakan golput itu bagian dari kebebasan mengemukakan pendapat yang harus dijamin. "Jadi orang memberikan pandangan tentang golput, bahkan sampai level mengajak itu bagian dari ekspresi pandangan," jelas Hadar.

 

Jadi menurutnya, tindakan mengajak untuk golput tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran atau sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, tidak tepat jika menggolongkan tindakan tersebut masuk dalam rumusan Pasal 142 RUU Pemilu.

 

Yang perlu dibatasi, menurutnya, adalah kalau sampai ada tindakan pemaksaan. Jadi bukan sekadar mengajak, tapi sampai memaksa atau bahkan sampai mengancam. "Seperti halnya orang berkampanye. Itu sah-sah saja. Tapi jika dia sampai membayar orang tersebut, kemudian mengancam atau menyakiti, itu pelanggaran," cetus Hadar.

 

Namun demikian, menurut Hadar, ajakan golput tentu sangat disayangkan, walaupun itu bagian dari hak. Kalau Pemilu memang tidak menjanjikan, ajakan golput mungkin menjadi sesuatu yang bisa diterima. Tapi kalau Pemilunya menjanjikan, aturannya bagus, ajakan golput sangat disayangkan. Walaupun menurutnya, itu tetap tidak bisa disalahkan.

 

Kekhawatiran turunnya jumlah pemilih

 

Menanggapi apa kira-kira alasan sampai dikeluarkannya usulan kriminalisasi ajakan golput ini, Bambang menjelaskan bahkan kemungkinan argumen politisnya adalah adanya ketakutan bahwa jumlah peserta pemilih akan menurun. Dengan menurunnya jumlah pemilih, dikhawatirkan adanya problem legitimasi dari siapa saja yang nantinya memenangkan Pemilu.

 

Menurut Bambang, seharusnya partai politik harus menghindarkan diri dari perspektif seperti itu. Justru ini saatnya suatu partai menunjukkan bahwa partai mereka memang layak untuk dipilih oleh masyarakat. "Jadi jangan dibalik dengan menampakkan ketakutan-ketakutan tersebut," ujar Bambang.

 

Satu lagi alasan yang memungkinkan banyaknya timbul ajakan golput adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat yang sekarang. Jika sudah tidak ada kepercayaan dari rakyat, jangan harap rakyat akan tetap berkeinginan untuk memilih kembali.

 

Karena itu, menurut Bambang, salah satu jalan keluarnya adalah melaksanakan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Sehingga, rakyat hanya memilih orang yang memang dipercayainya. "Kalau masih sistem proporsional tertutup lagi, mana bisa orang percaya. Disuruh percaya, tapi kok masih disuruh untuk beli kucing dalam karung lagi," cetus Bambang.

 

Tags: