Penajaman Prioritas Reformasi Hukum
Tajuk

Penajaman Prioritas Reformasi Hukum

Dalam bayangan para reformis--sejak pintu lebar untuk reformasi hukum terbuka setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998--hukum, pelaksanaan hukum, dan institusi penegak yang menjadi tiang utama yang busuk di masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, sangat mungkin diperbaiki dengan drastis dan seketika. Para reformis berpikir "now or never", dan punya harapan setumpuk bahwa pemerintahan Habibie, Gus Dur, dan Megawati akan berfikir yang sama.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Penajaman Prioritas Reformasi Hukum
Hukumonline

Dengan semangat itu lahir pemikiran untuk menentukan sejumlah prioritas, antara lain, pertama, reformasi konstitusi sebagai landasan utama reformasi hukum selanjutnya. Kedua, menggenjot reformasi hukum modern yang di satu sisi prorakyat banyak, bukan law against society seperti selama ini. Tapi juga di sisi lain, cukup liberal untuk menciptakan kondisi bersaing di pasar yang semakin global, bebas dan terbuka. Ketiga, rekonsiliasi dengan para pelanggar HAM, koruptor, dan pengusaha perusak ekonomi dalam konteks rekonsiliasi nasional di semua bidang untuk menutup masa lalu dan menatap masa depan (kecuali yang merupakan kejahatan luar biasa).

Selanjutnya, kempat, pembentukan komisi anti korupsi yang independen dan perkasa sebagai wujud pemihakan kepada rakyat untuk menghukum korupsi (luar biasa) di masa lalu dan penerapan program pecegahan anti korupsi; serta pembentukan Undang-undang yang terkait dengan pemberantasan korupsi, seperti Undang-undang Anti Pencucian Uang, Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Kebebasan Informasi dan sebagainya. Kelima, pengeluaran kebijakan luar biasa untuk menuntaskan restrukturisasi perbankan, guna menggulirkan roda ekonomi. Keenam, menggulirkan gerakan reformasi internal di semua institusi penegak hukum untuk menghasilkan dan menguatkan institusi penegak hukum, sehingga menjadi kredibel, profesional, dan bebas KKN. 

Harapan tinggal harapan, dan di awal tahun 2003 ini kita semua hanya bisa melihat bahwa usaha mewujudkan prioritas reformasi hukum tersebut hanya menyentuh permukaannya saja, dan lebih banyak wacana dari aksi. Kita seperti tanpa daya menyaksikan reformasi konstitusi tidak dilakukan dengan tuntas, dengan menyisakan komisi konstitusi yang tidak jelas kekuasaannya untuk memperbaiki substansi reformasi konstitusi.

Kerja think tank reformasi hukum (positif)--seperti Komisi Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional--dan program-program penulisan hukum positif lainnya masih jauh dari optimal, dan lebih banyak sekadar pengangkatan wacana dan kerangka teoritis. Sementara proses pembentukan hukum bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat tidak menggambarkan pembentukan kebijakan publik yang melibatkan publik secara aktif, masif, dan efektif. Proses peradilan terhadap kejahatan HAM, korupsi dan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit dan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mempunyai dampak luar biasa dilakukan secara partial, dan bukan merupakan bagian dari proses rekonsiliasi nasional.

Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dilahirkan, tetapi pembentukan Komisi Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi dan pembentukan kebijakan aksinya dan pengundangan peraturan perundangan lainnya yang diperlukan--seperti misalnya Undang-undang Perlindungan Saksi--masih memunculkan teka-teki akan kesungguhan pemerintah memberantas korupsi yang sudah mengakar ini.

Restrukturisasi perbankan berjalan amat lambat, terperosok dalam debat recovery rate dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Padahal, yang dibutuhkan adalah kecepatan bergulirnya pemulihan ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Reformasi internal institusi penegak hukum tidak terstruktur, tidak termotivasi, dan tidak terprogram. Dilaporkannya Jaksa Agung oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dengan tuduhan melakukan kebohongan hanya membuktikan bahwa tidak mungkin reformasi internal terjadi jika pucuk pimpinan dan jajarannya tidak reformis.

Reformasi hukum sudah kehilangan roh dan momentumnya, dan hanya bisa direvitalisasi dengan kemauan politik yang kuat dari Pemerintah, dengan menghilangkan semua vested interests dari para pejabat, parpol dan siapapun yang diuntungkan dengan keadaan yang stagnan dan status quo. Reformasi hukum dalam konteks kini hanya bisa berjalan bilamana dipenuhi beberapa syarat sebagai  berikut:

Tags: