Pengacara: Orang Paling Tidak Bahagia
Jeda

Pengacara: Orang Paling Tidak Bahagia

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengacara termasuk profesi yang dianggap jadi jaminan untuk dapat bergelimang materi dan kemewahan. Anak-anak muda berbondong masuk fakultas hukum dan bermimpi jadi pengacara beken. Tapi, apakah setelah menjadi pengacara mereka bisa bahagia? Tunggu dulu.

Oleh:
****
Bacaan 2 Menit
Pengacara: Orang Paling Tidak Bahagia
Hukumonline

Pengacara ternyata merupakan orang-orang yang paling tidak sehat dan paling tidak bahagia. Pengacara menderita depresi, kecemasan, permusuhan, paranoid, terasing dan terisolasi secara sosial, mengalami sindrom obsessive-compulsive dan sindrom interpersonal sensitivity dalam kadar yang mengkhawatirkan.

Riset yang dilakukan oleh Notre Dame University bersama John Hopkins University menunjukkan bahwa secara statistik, ada tiga profesi dari 104 profesi yang paling tinggi menderita Major Depresive Disorder (MDD). Mereka adalah pengacara, guru prasekolah, guru pendidikan khusus, serta sekretaris. Pengacara berada dalam urutan teratas, dan menderita MDD 3,6 kali lebih tinggi dari yang bukan pengacara.

Pengacara juga menderita kecanduan alkohol dan menggunakan obat-obatan terlarang dalam tingkat yang jauh lebih tinggi dari profesi lain. Sebuah grup peneliti menemukan bahwa jumlah pencandu alkohol di antara pengacara dua kali lipat dari rata-rata kecanduan alkohol di antara orang dewasa.

Sementara grup peneliti lain memperkirakan, 26% pengacara menggunakan kokain setidaknya satu sampai dua kali dari rata-rata populasi. Satu dari tiga pengacara menderita depresi klinis, kecanduan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan.

Tidak mengherankan, penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa pengacara melakukan bunuh diri atau berpikir untuk melakukan bunuh diri jauh lebih sering dari nonpengacara. Para pengacara ini memilih akhir hidupnya dengan bunuh diri karena tidak tahan menghadapi stres.

Pengacara banyak bercerai!

Kabar buruk lain, angka perceraian di kalangan pengacara terlihat lebih tinggi dari angka perceraian di antara profesional lain. Felicia Baker LeClere dari Pusat Kajian Contemporary Society di Notre Dame University membandingkan terjadinya perceraian pada pengacara dengan perceraian di kalangan dokter.

Penelitian perceraian itu menggunakan data dari sensus tahun 1990. LeClere menemukan bahwa persentase pengacara yang bercerai lebih besar daripada dokter yang bercerai. Uniknya lagi, perbedaan itu secara jelas terlihat pada perempuan. Ternyata, lebih banyak pengacara perempuan yang perkawinannya kandas di tengah jalan.

Tags: