Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM
Berita

Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM

Benarkah UUD 1945 "mengharamkan" hukuman mati? Ataukah, pendapat tersebut sekadar dilontarkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konstitusi itu sendiri? Satu hal yang pasti, konstitusi tidak pernah mengkhususkan perlindungan HAM bagi terpidana mati, melainkan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Hukuman Mati Senafas dengan Semangat Perlindungan HAM
Hukumonline

Pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Maria Farida, berpendapat bahwa penerapan hukuman mati sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan hukuman mati.

"Kalau dia sudah membunuh seseorang, dia sudah mengedarkan narkotika, dan itu berakibat yang lebih banyak kepada orang lain, apakah dia layak di dalam negara yang sesuai dengan Pancasila? Jadi, batasan itu tetap, walaupun di sini hak untuk tidak disiksa dan sebagainya. Tapi, hak ini bisa dibatasi kalau itu (diatur) dalam undang-undang," jelas Maria kepada hukumonline.

Maria juga menilai bahwa sebagian kalangan yang menyatakan menolak hukuman mati telah mengutip dan menafsirkan Pasal 28I UUD 1945 secara terpenggal-penggal. Dalam mengutip Pasal 28I UUD 1945, kelompok tersebut hanya berkutat pada ayat (1). Padahal, ayat tersebut masih terkait erat dengan ayat selanjutnya yakni ayat (5). Hal demikian dikenal sebagai penafsiran sistematis terhadap UU.

"Misalnya Pasal 28I ayat (1), hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, bergama, hak untuk tidak diperbudak, hak-hak ini tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Tapi, kemudian di sini dalam Pasal 28I ayat (5) untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan," urainya.

Selain itu, ia tidak melihat adanya pertentangan antara Pasal 28I dan Pasal 28J UUD 1945. "Pasal 28J menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di sinikan berarti haknya itu bukan haknya orang yang dihukum mati saja, tapi haknya orang lain yang juga takut hal itu akan terjadi kembali," tegas Maria.

Melindungi masyarakat

Lebih jauh, Maria kembali mengingatkan bahwa penjatuhan hukuman mati atas diri seseorang terjadi karena dalam menjalankan hak asasinya orang yang bersangkutan telah melanggar hak asasi orang lain di lingkungannya. Dengan demikian, penerapan hukuman mati bertujuan untuk melindungi masyarakat yang takut tidak pidana tertentu terulang kembali baik oleh pelaku yang sama maupun orang lain.

Kita tentu sering mendengar di masyarakat bahwa para pelaku pembunuhan ataupun pengedar narkotika yang telah menjalani hukuman atau para residivis seringkali mengulangi perbuatannya begitu kembali ke masyarakat. Tentu saja, tanpa menafikan sebagian residivis yang kemudian berprilaku baik selepas dari penjara.

Menurutnya, masalah sangat penting yang harus diperhatikan pemerintah terkait dengan hukuman mati adalah memberikan kepastian kepada para terpidana mati mengenai pelaksanaan eksekusi. Di mata Maria, seharusnya para terpidana mati tidak dibiarkan terlalu lama menunggu turunnya keputusan Presiden tentang diterima atau ditolaknya permohonan grasi yang mereka ajukan.

"Jadi, itu mestinya cepat. Begitu ada putusan, maka grasinya itu segera ditetapkan ditolak atau diterima. Eksekusinya cepat. Kalau tidak di situ menimbulkan keraguan seseorang dan juga menimbulkan suatu perasaan yang tidak enak bagi terpidana sendiri," ucap Maria. Ia membandingkan dengan proses untuk hal serupa di Jerman yang hanya memakan waktu paling lama enam tahun.

Tags: