Penangkapan Kasubdit Registrasi Rutan Tanjunggusta dan seorang panitera PN Medan akhirnya mulai membuka mata rantai kasus-kasus pemalsuan vonis yang terjadi di sana. Pengadilan Tinggi sendiri sudah menonpalukan hakim Mujur Nasution dan terpaksa pensiun dini per 1 Juni mendatang. Sementara, jaksa Dj. Harahap masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Poltabes Medan.
Jaksa belum tertangkap, eh terbetik kabar bahwa beberapa hari lalu, aparat kepolisian kembali mengungkap satu lagi kasus yang mencoreng aib dunia peradilan itu. Kali ini, dilakukan Nuardy alias Acui, 34 tahun, terpidana kasus narkoba.
Sebelumnya, majelis hakim PN Medan diketuai M. Sihombing menjatuhkan hukuman 5,6 tahun penjara kepada yang bersangkutan gara-gara kepemilikan 24 butir ekstasi. Terdakwa dinilai melanggar pasal 59 ayat (1) huruf e UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Hukuman itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta meninta terdakwa dihukum 7 tahun.
Nyatanya, ia hanya menjalani hukuman 8 bulan. Acui keluar dari LP Tanjunggusta sebelum masa hukumannya berakhir. Batang hidungnya tak kelihatan lagi di penjara, sementara ia baru dihukum pada 2 September 2002 lalu.
Hal yang sama pernah menimpa terpidana M. Said alias Sani. Sani yang divonis 5,6 tahun penjara karena kasus narkoba lolos dari LP. Berbekal vonis palsu, hukuman terpidana diganti menjadi 7 bulan. Tanda tangan hakim, panitera, dan jaksa dilasukan. Celakanya, petugas LP percaya begitu saja. Atau memang ikut menjadi pemain?
7 kasus
Sebagaimana di beritakan media setempat, pihak Pengadilan Tinggi Sumatera Utara sudah mengakui terjadinya pemalsuan vonis kasus-kasus narkoba. Bahkan, Wakil KPT Monang Siringoringo memperkirakan ada sekitar tujuh kasus vonis palsu. Jumlah itu merupakan perkiraan setelah PT melakukan verifikasi terhadap putusan-putusan kasus narkoba. Namun tidak dijelaskan kasus apa saja dan siapa tersangka dalam ketujuh kasus tersebut.
Banyaknya kasus pemalsuan vonis itu membuat gerah aktivis anti narkoba setempat. Mereka meminta agar otak besar di balik pemalsuan itu diungkap dan diseret ke pengadilan. Para aktivis curiga, aktor intelektualnya sengaja dilindungi demi kepentingan tertentu.