Pengesahan RUU Advokat
Episode Akhir Pertarungan Sarjana Hukum versus Sarjana Syariah
Fokus

Pengesahan RUU Advokat
Episode Akhir Pertarungan Sarjana Hukum versus Sarjana Syariah

Pengesahan RUU tentang Profesi Advokat pada Rapat Paripurna DPR (06/03) disambut dengan kekecewaan kalangan advokat. Sebaliknya, kubu Islam yang telah memperjuangkan sarjana syariah dalam RUU Advokat menyambutnya dengan suka cita. Sebagian advokat memandang lebih baik menerima RUU tersebut daripada tidak mempunyai UU sama sekali.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
<FONT SIZE=1 COLOR=#FF0000><B>Pengesahan RUU Advokat</B></FONT><BR>Episode Akhir Pertarungan Sarjana Hukum versus Sarjana Syariah
Hukumonline

Berbeda dengan perdebatan alot yang mewarnai pembahasannya, pengambilan keputusan atas RUU tentang Profesi Advokat pada Rapat Paripurna DPR berjalan sangat mulus. Tidak ada perdebatan sengit antarfraksi, atau minderheidsnota,  apalagi sampai melakukan voting seperti pada pengesahan RUU Pemilu atau RUU Antiterorisme.

Sebaliknya, suasana yang jauh berbeda sangat terasa di luar parlemen. Pengesahan RUU Advokat menjadi undang-undang justru disambut dengan kekecewaan dari kalangan advokat sendiri. Penyebabnya pun masih sama, yaitu substansi RUU advokat yang pada akhirnya membolehkan sarjana lulusan Fakultas Syariah untuk menjadi advokat.

Penolakan kalangan advokat yang tergabung dalam Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) terhadap sarjana syariah memang tanpa kompromi. Sikap KKAI itu "kebetulan" berbeda 180 dengan sejumlah partai Islam di Komisi II DPR yang memperjuangkan agar sarjana syariah dapat pula diangkat menjadi advokat.

Namun, ada hal lain dalam RUU Advokat yang nampaknya lebih menyakitkan bagi KKAI. Bargaining soal sarjana syariah ternyata berujung pada diperbolehkannya sarjana dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum lainnya untuk menjadi advokat. Sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) ini adalah lulusan Fakultas Syariah, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM).

"Awalnya cuma sarjana syariah yang kami fokuskan. Tapi setelah sekarang (RUU Advokat) sudah jadi, malah masuk semua," ujar Ketua Umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Indra Sahnun Lubis kepada hukumonline.

Di mata Indra, bergabungnya sarjana PTIK dan STHM bersama sarjana syariah masuk ke dalam RUU Advokat memang sama sekali di luar perhitungan KKAI. Menurutnya, selama pembahasan RUU Advokat di Komisi II, yang terekspose hanyalah soal sarjana syariah, tidak soal sarjana PTIK dan STHM.

Peran partai Islam

Berbeda dengan Indra, Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Trimedya Panjaitan cenderung menerima substansi tersebut sebagai bagian dari bargaining antara para anggota DPR serta dengan pemerintah. Di samping itu, ia menganggap para pihak yang memperjuangkan sarjana syariah dalam RUU Advokat cukup berhasil meyakinkan bahwa fakultas syariah tidak jauh berbeda dengan fakultas hukum dari segi kurikulum.

Tags: