Menjual Berita Kriminal: Dekriminalisasi Vs. Dissensitifikasi?
Fokus

Menjual Berita Kriminal: Dekriminalisasi Vs. Dissensitifikasi?

'Bapak Angkat Garap Bocah 8 Tahun, Dibor Gaya Nungging' Tulisan itu tertera dengan huruf-huruf besar di halaman depan dan menjadi headline surat kabar Pos Metro edisi 24 Februari 2003. Kalimat di atas jelas bukan judul dari suatu berita hiburan, walaupun memuat kata 'ngebor, kata yang sedang menjadi tren seiring kepopuleran Inul Daratista.

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Menjual Berita Kriminal: Dekriminalisasi Vs. Dissensitifikasi?
Hukumonline

Kalimat itu adalah judul untuk sebuah berita mengenai kasus perkosaan anak di bawah umur yang dilakukan oleh ayah angkatnya. Bayangkan, suatu tulisan mengenai perbuatan biadab--suatu tindak pidana berat--ditulis seakan-akan berita yang disampaikan adalah suatu berita yang menghibur. 

Ketika hal ini terjadi satu atau dua kali, mungkin kita bisa menyatakan bahwa hal itu terjadi karena penulis berita tidak mempunyai empati atau hanya mencari sensasi. Tapi kenyatannya, gaya penulisan seperti itu telah menjadi suatu hal yang tersistematis, jika tidak mau disebut sebagai industri tersendiri.

Ingin contoh? Coba saja Anda lihat berita-berita dalam surat kabar Lampu Merah atau Pos Metro.  Di situ terlihat bahwa berita tentang kasus perkosaan misalnya, tidak lagi digambarkan sebagai suatu hal yang tragis dan keji, melainkan digambarkan dengan detail, bahkan kadang tampak berusaha membangkitkan fantasi seksual pembacanya.   

Lebih parah lagi jika kita melihat tabloid-tabloid yang memang menyuguhkan pornografi, seperti tabloid Buah Bibir, Lipstik, dan Bos. Sebenarnya, tabloid itu lebih tepat disebut sebagai terbitan porno daripada tabloid hiburan. Pasalnya, gambar-gambar dalam tabloid itu sungguh mirip dengan gambar-gambar dalam situs porno di internet.

Dalam tabloid itu, perkosaan bukan hanya digambarkan dengan detil dan secara mesum, tapi juga seperti menjadi sebuah komoditas. Dalam sebuah berita mengenai perkosaan misalnya, ilustrasi dalam berita itu adalah foto seorang perempuan  memakai bikini dengan pose yang menantang.  Di samping foto, tertulis bahwa foto diperagakan oleh model. Tidak jelas, apa hubungan model berbikini itu dengan berita perkosaan.

Itu untuk tindak pidana asusila. Bagaimana untuk tindak pidana lain, seperti pembunuhan atau penganiayaan? Keadaannya setali tiga uang. Saat ini, setiap stasiun televisi memiliki minimal satu acara liputan berita kriminal yang ditayangkan setiap hari. Acara itu, baik yang namanya Buser, Sergap, Patroli atau apapun, mengantarkan ke semua rumah--baik di desa atau kota, baik yang dihuni anak kecil,  remaja, dan ibu rumah tangga--kekerasan dalam bentuk yang sangat vulgar.

Ketika ada pencuri motor yang tewas dibakar massa, kita bisa melihat tubuh mayat itu di-close up dan terlihat jelas di layar TV. Begitu pula jika ada korban pembunuhan yang mayatnya terpotong-potong, mayat tersebut akan terlihat jelas di layar TV sampai ke rumah-rumah, lengkap dengan darah yang berceceran.  Begitu pula rekonstruksi peristiwa seorang bapak yang membunuh anaknya misalnya, dapat dilihat secara lengkap dan jelas. 

Dekriminalisasi vs dissentifikasi
Apakah dengan membuat pemberitaan seperti itu, sebagian pers kita sudah dapat dikatakan melakukan dekriminalisasi? Membuat sebuah tindak kriminal menjadi bukan lagi tindak kriminal karena disuguhkan sebagai suatu hiburan.

Menurut ahli hukum pidana Prof. Harkristuti Harkrisnowo, yang dilakukan oleh pers bukan merupakan dekriminalisasi, melainkan lebih tepat disebut sebagai dissensitifikasi. Hal yang sama dikatakan oleh Ade Armando, pengamat media dari Media Watch and Consumer Center (MWCC).

Menurut Harkristuti, dengan menyuguhkan berita kriminal seperti itu, pers telah menyebabkan terjadinya  dissensitifikasi terhadap kriminalitas.  Tindakan-tindakan kriminal yang dahulu dianggap sangat serius, sangat berat dan melanggar moralitas, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Sementara menurut Ade Armando, penyuguhan berita kriminal seperti disebut di atas, menjadikan masyarakat menjadi tidak lagi sensitif terhadap tindak pidana kriminal.

Bentuk dari dissensitifikasi bisa macam-macam. Misalnya, kejahatan ditampilkan sebagai sesuatu yang lucu atau mesum, sangat detil, dan ada ungkapan-ungkapan yang justru menjadikan kejahatan itu sebagai sesuatu yang sensual atau membangkitkan fantasi. "Atau membuat tindak kriminal itu tampak sebagai sesuatu yang remeh," cetus Ade.

Menurut Ketua Jurusan Komunikasi Fisip Universitas Indonesia ini, dampak dari disensitifikasi ini sangat serius.  Masyarakat tidak lagi sensitif terhadap kejahatan. Padahal, sensitivitas masyarakat sangat penting. Karena dengan adanya sensitifitas, masyarakat mau bereaksi secara cukup seperti yang diperlukan jika terjadi kejahatan.

Jika masyarakat sudah tidak lagi sensitif, sudah tidak peduli dan tidak ada kemarahan terhadap aksi-aksi kriminal, maka upaya untuk memerangi kejahatan akan kehilangan daya dorong dari masyarakat. Masyarakat  tidak lagi mengasihani korban. Kalau ada korban terkena pelecahan atau perkosaan, masyarakat tidak lagi memandangnya sebagai sesuatu yang perlu diberi simpati.

"Masyarakat tidak lagi marah terhadap suatu kejahatan. Bahkan kalau itu terjadi di lingkungannya, ia anggap sebagai sesuatu yang remeh atau biasa-biasa saja. Atau lebih buruk lagi,  seseorang seperti memperoleh justifikasi dalam hal melakukan kejahatan karena tidak terhambat oleh kontrol sosial untuk melakukannya," ujar Ade.

B
agi anak-anak, dampaknya bisa lebih dahsyat lagi. Sejak dini, anak menjadi tidak peka terhadap tindak kejahatan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan  keras, ia tidak sensitif ketika terjadi kekerasan. Jika sejak kecil seseorang sudah terbiasa dengan darah dan kekerasan, ia betul-betul bisa menjadi manusia yangg tidak sensitif. Ia menjadi seseorang yang bisa tertawa  mendengar kejahatan atau bersuit-suit ketika melihat adegan perkosaan di film, sesuatu yang seharusnya membuat miris atau  terganggu.

Harkristuti berpendapat, dampak yang sangat besar akan terjadi jika pembaca surat kabar atau tabloid itu adalah anak-anak di bawah umur. Pasalnya, mereka belum bisa memilah-milah informasi dan masih dalam tahap trial and error. Apalagi, surat kabar dan tabloid itu berbeda dengan majalah porno di luar negeri, seperti Playboy yang pembacanya dibatasi hanya usia tertentu.

Sementara surat kabar dan tabloid itu dapat diperoleh dengan mudah oleh setiap orang dari berbagai usia. Di sisi lain, beberapa tabloid tidak menyebutkan susunan dan alamat redaksinya. Karena itu, 'tabloid gelap' ini sulit dituntut.

Pelanggaran KUHAP
Hal lain yang dicermati oleh Harkristuti adalah kekerasan yang dilakukan oleh polisi yang tergambar jelas dalam tayangan-tayangan berita kriminal di TV. "Orang akan melihat bahwa polisi identik dengan kekerasan. Dan polisi-polisi baru akan menganggap sah-sah saja untuk menembak seorang tersangka," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Tuti menyatakan bahwa Indonesia saat ini sudah memiliki konvensi against torture. Namun dengan adanya realitas seperti disebut di atas, akan ada kebingungan ketika memberi kuliah tentang hal itu di Sekolah Polisi Negara kepada polisi yang baru.  "Saya ajarkan tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali pada situasi tertentu, karena sudah ada konvensi tentang hal itu. Tapi, mereka melihat senior-senior mereka melakukannya, masuk TV dan mendapat applause dari publik," tutur Tuti.

Padahal penggunaan kekerasan itu selain merupakan  pelanggaran KUHAP, sebenarnya juga tidak diperlukan. "Enak saja mereka (polisi) menampar-nampar orang, menjambak. Diborgol OK saja, tapi tidak perlu dijegal dulu atau ditembak dulu," ujar Tuti. Apalagi, yang ditayangkan di TV bukan merupakan kejadian riil atau dokumenter, melainkan merupakan hasil skenario.

Yang juga dilanggar, menurut Tuti, adalah asas presumption of innocent. Para tersangka yang ditayangkan di TV tidak disamarkan wajahnya. "Secara faktual mereka bersalah, tapi secara legal kan belum tentu. Maka, mereka punya hak untuk tidak diekspos identitas mereka," cetusnya.

Self regulation
Karena hal-hal di atas itu, Harkristusi meminta agar pers menjadi pers yang bertanggungjawab. Alasannya, kalangan pers tentu tidak akan senang jika ada peraturan hukum yang melarang mereka. "Buat saya, kalau pers tidak menghendaki ada hukum pidana yang mengatur hal itu, mereka harus melakukan self regulation. Saya setuju kebebasan pers, tapi untuk pers, please regulate your own kind," tukas Tuti.

Sebenarnya dalam UU Pers, sudah ada pasal yang mengatur perbuatan seperti disebut di atas. Pasal 5 ayat 1 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.  Sementara dalam pasal 19 ayat 2 disebutkan bahwa perusahaan pers yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta.

Ade berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pers sudah melanggar pasal tersebut, misalnya jika dilihat dari rasa susila. Masalahnya, selain pasal tersebut multiinterpretasi, pasal itu selama ini tidak dapat dilaksanakan.

"Yang sudah jelas interpretasinya pun banyak yang tidak jalan. UU itu memang dapat digunakan untuk menghambat kecenderungan pers untuk menyajikan sesuatu secara melanggar norma-norma. Tapi, marilah kita realistis menyatakan bahwa penegakan hukum aturan itu masih bermasalah," ujar Ade.


Ade menilai, Dewan pers tidak banyak berbuat terhadap pelanggaran profesional pers seperti di atas.  Yang dilakukan oleh Dewan Pers hanya mengirimkan surat-surat, itu pun tidak banyak jumlahnya. "Kita tidak melihat upaya serius dari lembaga itu untuk mendisiplinkan pers. Itu lembaga yang kosong. Banyak nama, tapi tidak banyak berbuat," tukas Ade.

Ade mengatakan bahwa selain penegakan peraturan perundang-undangannya, yang juga semestinya dilakukan adalah self regulation dari profesi. Pasalnya, dalam kemerdekaan pers, ada asumsi bahwa masyarakat akan menata dirinya sendiri, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu campur tangan.

Toh, self regulation di Indonesia  ternyata tidak kunjung muncul karena komunitas persnya juga tidak kunjung berusaha merefleksi diri. Refleksi  tentang kelemahan-kelemahan mereka dan melakukan hal yang diperlukan untuk memperbaiki  kelemahan itu.

Kalau self regulation ini berjalan, menurut Ade, berita-berita yang menyebabkan dissensitivikasi dapat dicegah oleh profesi sendiri. "Kode etik itu yang seharusnya mengarahkan perilaku orang. Ini yang selama ini tidak jalan," tegas Ade.

Semestinya dalam standar profesi, terjadi proses seleksi di mana orang-orang yang terlibat dalam media adalah orang-orang yang cakap secara teknis dan juga etis. "Saat ini, siapapun bisa menjadi wartawan. Semua berlomba-lomba membuat media, pokoknya untung. Bahkan, saat ini banyak media massa yang sebetulnya tidak terdaftar sebagai badan hukum," cetus Ade.

Sama seperti advokat atau dokter, insan pers adalah profesi yang memerlukan profesionalisme. Yaitu, profesi yang diharapkan dapat mengatur dirinya sendiri melalui penegakan kode etik profesi dan organisasi profesi.

Tags: