Efektifitas dan Perspektif Korban atas Hukuman Mati
Kolom

Efektifitas dan Perspektif Korban atas Hukuman Mati

Meskipun jadwal eksekusi mati sudah dekat, polemik tentang hukuman mati masih terus berkepanjangan. Ada dua hal utama seputar wacana hukuman mati yang menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Pertama, tentang efektivitas vonis yang berat terhadap penurunan angka kriminalitas. Kedua, pemikiran alternatif tentang keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Efektifitas dan Perspektif Korban atas Hukuman Mati
Hukumonline

Mengajukan contoh hukuman mati di Singapura dan Cina, sebagian kalangan berargumentasi bahwa hukuman mati terbukti ampuh untuk menekan kejahatan narkoba dan korupsi di kedua negara tersebut. Sedangkan, saya berpijak pada penelitian Antunes dan Hunt (1987). Mereka berpendapat bahwa beratnya hukuman tidak terbukti sebagai variabel tunggal yang efektif guna menghentikan munculnya aksi-aksi kejahatan.

Perdebatan tentang efektivitas hukuman, bisa jadi, tidak akan pernah usai. Permasalahan terbesar dalam mengukur efektivitas hukuman terhadap seorang terdakwa pada khususnya, dan para kriminal lain pada umumnya, bersangkut paut dengan menerka persepsi dan interpretasi si terhukum atas jenis hukuman yang diterimanya.

Langkah prediksi ini acap tidak akurat, disebabkan oleh asumsi yang simplistis bahwa stimulus tertentu niscaya diikuti oleh respons tertentu. Hukuman akan membuat individu jera, sedangkan penghargaan akan menimbulkan perasaan bangga.

Kesimpulan yang behavioristic ini tidak manusiawi, karena dua hal.   Pertama, ia berangkat dari penalaran si pengamat, bukan dari individu yang diamati. Dari si penghukum, bukan si terhukum. Kedua, ia mensimplifikasi kompleksitas yang terdapat di dalam dinamika psikologis manusia. Pada kenyataannya, tingkah laku manusia tidak dapat diterangkan melalui penjelasan sederhana dan mekanistis seperti yang dapat dilakukan pada organisme-organisme lainnya.

Demikian pula, dalam hal hukuman mati. Mengacu pada hukum akibat (law of effect) dari Thorndike (1911), di mata penghukum, vonis mati dijadikan sebagai hukuman (punishment), sehingga diduga akan menurunkan pemunculan perilaku. Semakin berat kadar hukuman, semakin rendah kemungkinan berulangnya tindak kejahatan.

Permasalahannya, lain ladang lain belalang. Bagi si terhukum dan juga para kriminal lainnya, sesuatu yang semula difungsikan sebagai hukuman justru bisa ditangkap sebagai penguatan (reinforcement). Karena itu, walaupun bersifat sebagai menghukum (punitive, negative), hukuman mati--sebagai stimulus--justru akan memperkuat pemunculan respons. Semakin berat hukuman, semakin ia bersifat memperkuat (reinforcing), sehingga semakin tinggi pula angka kejahatan. Inilah yang disebut sebagai penguatan negatif (Skinner, 1957).

Terlepas dari kompleksitas di atas, temuan-temuan psikologi membuktikan bahwa penghargaan (reward) lebih efektif daripada hukuman (punishment) untuk mempengaruhi perilaku sesuai dengan yang diinginkan. Mengaplikasikan hal ini ke masalah penegakan hukum, dapat dinyatakan bahwa yang penting adalah bagaimana agar setiap individu dapat merasakan suatu manfaat setiap kali ia menampilkan tingkah laku yang selaras dengan norma hukum. Sebaliknya, semua individu akan menerima akibat yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi tindak-tanduk di luar norma yang ada.

Tags: