Saksi KKN Soeharto Disumpah
Berita

Saksi KKN Soeharto Disumpah

Kejaksaan Agung mengambil sumpah 13 saksi berkaitan persidangan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) mantan Presiden Soeharto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Para saksi ini diambil sumpahnya dengan pertimbangan usia dan kesibukan mereka. Setelah diambil sumpahnya pada 14 Juli 2000, keterangan mereka selama pemeriksaan di Kejakgung bisa dijadikan bukti jika mereka berhalangan kelak.

Oleh:
Tri/Apr
Bacaan 2 Menit
Saksi KKN Soeharto Disumpah
Hukumonline
Jakarta, Hukumonline
Kejaksaan Agung mengambil sumpah 13 saksi berkaitan persidangan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) mantan Presiden Soeharto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Para saksi ini diambil sumpahnya dengan pertimbangan usia dan kesibukan mereka. Setelah diambil sumpahnya pada 14 Juli 2000, keterangan mereka selama pemeriksaan di Kejakgung bisa dijadikan bukti jika mereka berhalangan kelak.

Pengambilan sumpah yang tidak boleh diliput wartawan ini dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dilantik A.R. Soehoed (mantan Menteri Perindustrian), Ahmad Parwis Nasution (Bendahara Yayasan Trikora), Hediyanto (Bendahara Yayasan Darmais), Dr Soemali (Direktur Utama PT Hanurata), Imam Soedjito (Manajer Keuangan PT Hanurata), Ir Soekrisman (Komisaris PT Pembangunan Jaya).
Tujuh saksi lainnya yang juga diambil sumpahnya adalah: Ali Afandi (mantan Bendahara Yayasan Supersemar), Aryo Darmoko (Sekretaris Yayasan Supersemar), Sabarono Slamet (Bendahara Yayasan Supersemar), Zahid Husein (Direktir PT Granadi yang merangkap anggota Yayasan Dakab), Ir Soemawan Tjokroprawiro (Direktur Operasional PT Granadi), Dian Sumelar Ciputra (Sekretaris Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan), dan Winarto Sumarto (pensiunan BNI).

Menurut Direktur Tindak Pidana Korupsi, Ris Sihombing, kepada wartawan, langkah ini sesuai dengan aturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP), tanpa menyebutkan pasal yang dimaksud. Sebagian besar saksi berusia lanjut dan diperkirakan persidangan berlangsung lama, ujarnya. Sebagian dari saksi ini memang telah berusia lanjut dan menderita sakit. Mereka adalah orang-orang yang pernah dipercaya Soeharto selama masih berkuasa untuk mengelola yayasan milik Soeharto.

Kejagung tidak mau menanggung risiko, saksinya kelak tidak bisa diminta keterangannya lebih lanjut. Ris Sihombing menambahkan, kejaksaan khawatir terjadi apa-apa sebelum kasusnya selesai. "Untuk itu mereka diambil sumpahnya agar keterangan mereka selama diperiksa bisa dijadikan kesaksian di pengadilan," katanya.
Dalam KUHAP Pasal 162 disebutkan : Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyelidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan.

Setelah disumpah itu, keterangan saksi yang telah diberikan bisa menjadi bukti bila saksi berhalangan atau misalnya, meninggal. Hal ini disebutkan dalam Pasal 162 Ayat 2: Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.

Para saksi itu didampingi kuasa hukumnya, Ruhut Sitompul, Tomy Sihotang, Hotma Sitompul, dan Mario J Bernardo. Ruhut menegaskan, para saksi ini kemungkinan tidak bisa di pengadilan nanti karena usia lanjut. Mereka sebelumnya sudah diperiksa dan kemungkinan mereka tidak bisa datang, katanya. Ruhut menyatakan, prmrriksaan para saksi ini ada kaitan politis dari Presiden Gus Dur yang ingin mempercepat proses pengadilan Soeharto pada Agustus 2000.

Usai disumpah, Ahmad Parwis Nasution kepada wartawan menyatakan tidak ada penyimpangan Yayasan Trikora di Kiani Kertas. Dana itu digunakan khususnya bagi anak-anak prajurit pejuang Trikora. Ahmad Parwis menekankan bahwa Yayasan Trikora berdiri pada 1963 sebelum Soeharto menjadi presiden. Dana 1963 sampai sekarang tidak ada penyimpangan, katanya. Kalau begitu Yayasan Trikora, tidak ada hubunganya dengan Soeharto.
Tags: