MA: Rumah Keadilan yang Retak
Tajuk

MA: Rumah Keadilan yang Retak

Hakim banyak yang merasa menjadi wakil Tuhan di dunia. Keputusannya pun dimulai dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa". Dengan itu, hakim bisa menjatuhkan vonis mati kepada terdakwa kejahatan berat atau lawan politik penguasa, bisa membangkrutkan orang dan perusahaan, bisa mematikan hak perdata seseorang, bisa menjadikan orang kehilangan pekerjaan, bisa mencerai-beraikan keluarga, dan sederet wewenang tidak manusiawi dan luar biasa yang tidak lazim dimiliki oleh jabatan, profesi, dan fungsi apapun.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
MA: Rumah Keadilan yang Retak
Hukumonline

Jadi, hakim seharusnya adalah orang pilihan dari putra-putri terbaik, yang dididik melalui proses pendidikan yang ekstra-ketat dan berkelas unggulan, dan yang terus diasah untuk mempertajam keahlian. Hakim juga wajib digodok pengalaman multidimensi di beragam lapangan serta menjalani proses rohaniah terus menerus untuk menjadi pribadi dengan integritas yang tidak bisa digoda dengan apapun juga, baik harta, kekuasaan, maupun kenikmatan duniawi lainnya. Hakim juga diharapkan selalu mengasah kebijakan, kearifan, serta instink keadilannya untuk menjadikannya tetap peka di dalam memutus perkara-perkara sensitif yang khas negeri ini.

Jadi, pasti masuk akal bila dalam sistem yang lebih terbuka dan demokratis sekarang ini, ada suatu proses pemilihan hakim yang menjamin tersaringnya orang-orang terbaik dengan kualitas di atas, the best of the best, the cream of the cream.  Untuk  hakim agung, kini disyaratkan bahwa mereka harus lolos dari saringan fit and proper test yang dilakukan oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bisa dibayangkan bahwa sistem yang mirip dengan sistem yang dijalankan di negara-negara maju, mustinya juga dijalankan oleh orang-orang yang punya kualitas yang sama.

Artinya, calon hakim agungnya mempunyai kualitas seperti calon hakim agung di negara maju atau sedikitnya mendekati itu. Dan kontrasnya, anggota DPR yang menyaring calon-calon hakim agung juga seharusnya punya kualitas yang sama dengan anggota parlemen negara maju yang kritis dan benar mewakili konstituennya. Sinikal? Mimpi? Harapan? Ya, bisa semuanya saja. Paling tidak arah yang diambil sudah benar.

Bahwa yang kita jalankan baru format, dan belum substansi, ini mungkin sudah suatu langkah di jalur yang benar. Bahwa kemudian proses fit and proper test terkesan seperti ketoprak humor, mutu pertanyaan dan penanyanya sendiri mirip yang dilakukan untuk pemilihan pejabat tingkat rendahan, dan pesertanya juga cuma punya mutu untuk jadi hakim di pengadilan rendahan, anggap saja itulah wajah kita sebenarnya saat ini. Dan positifnya, anggap juga sebagai bagian untuk mematangkan suatu proses yang harus ada dalam negara hukum dan demokratis.

Di tengah proses fit and proper test hakim agung tersebut, muncul wacana yang diusung oleh Komisi II, Mahkamah Agung dan IKAHI--yang setengah memaksa--antara lain agar: (a) pengangkatan hakim agung disesuaikan dengan jumlah jabatan yang lowong atau akan lowong, (b) pengangkatan hakim agung dari jalur karier agar diutamakan, (c) Undang-undang Mahkamah Agung direvisi atau dibuat suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang memungkinkan hakim karir yang tidak memenuhi persyaratan untuk diangkat menjadi hakim agung. Ini jelas suatu usaha untuk mempertahankan status quo, dengan menyerahkan kembali urusan yudikatif kepada mereka yang tidak pernah mau mengerti arti reformasi hukum dan institusi hukum, dan membiarkan moral institusi yudikatif terus tergerus dan semakin bobrok digerogoti korupsi, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.

Sikap anti perubahan tersebut ditentang habis oleh Koalisi Ornop Pemantau Peradilan dan banyak pihak, yang menghendaki proses pengangkatan hakim agung harus dilihat dari kepentingan untuk sekaligus mereformasi institusi yudikatif. Koalisi dan para penentang tersebut melihat bahwa tugas yang seharusnya dijalankan oleh Komisi Yudisial yang belum dibentuk ini digarap secara serampangan, dan bukan tidak mungkin dengan kesengajaan untuk mempertahankan status quo tadi. Bukankah begitu banyak orang-orang lama yang menghendaki dunia peradilan tidak berdaya mengungkap dan menghukum dosa-dosa masa lalu mereka? Dan bukankah orang-orang baru yang meneruskan budaya korup belajar dengan cepat bahwa reformasi hukum dan institusi hukum berarti pedang yang dihunus untuk menghentikan pesta korupsi mereka yang baru saja dimulai?

Koalisi dan para penentang tersebut bahkan memberikan parameter seleksi calon hakim agung yang begitu komprehensif. Termasuk, parameter integritas yang meliputi kekayaan, kedinasan, dan perilaku calon hakim agung. Parameter kualitas yang mencakup intelektualitas, kecakapan, kepekaan, dan misi serta misi hakim agung. Serta, parameter administratif yang menyangkut usia, kesehatan, dan rangkap jabatan. Parameter itu tentu merupakan jaring yang rapat untuk menghasilkan hakim agung yang ideal, dan harus serta harus bisa dijalankan oleh Komisi II maupun Komisi Yudisial yang akan dibentuk nanti. Tetapi, suatu jaringan parameter hanya akan bekerja bila dibuat dalam konteks urgensi saat ini maupun program jangka panjang pembentukan institusi Mahkamah Agung yang terdesain dengan baik. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: