Mau Praktis, Pakai Saja e-Signatures
Berita

Mau Praktis, Pakai Saja e-Signatures

Jakarta, hukumonline. Dalam era cyber, orang tidak perlu lagi bertemu kolega atau kliennya untuk menandatangani dokumen. Dengan e-signatures, proses dipersingkat dan tidak berbelit-belit. Tunggu dulu. Ini bukan di Indonesia, melainkan di Negara Paman Sam, AS.

Oleh:
Fat/APr
Bacaan 2 Menit
Mau Praktis, Pakai Saja e-Signatures
Hukumonline

Undang-undang (UU) yang menempatkan e-signatures atau tanda tangan digital dalam kategori hukum yang sama dengan yang ditulis dengan tangan, mulai berlaku di AS pada awal Oktober (1/10) seperti dilaporkan nytimes com dan silicon valley. internet.

Dengan undang-undang ini, individu dan kalangan pebisnis secara hukum akan terikat pada perjanjian-perjanjian yang dibuat di dokumen digital pada internet. Electronic Signature in Global and National Commerce Act, ditandatangani oleh Presiden Bill Clinton pada 30 Juni lalu dan tampaknya disambut gembira oleh sebagian besar kalangan pebisnis AS.

Sebelum UU ini ditandatangani, lebih dari 40 negara bagian di AS telah secara resmi mengakui keabsahan tanda tangan digital. Kehadiran UU ini diharapkan memberikan dorongan yang lebih besar bagi konsumen untuk beralih ke teknologi tanda tangan digital itu. Seperti layaknya teknologi cyber lainnya, teknologi tanda tangan digital menawarkan efisiensi dalam hal prosedur, biaya, dan waktu.

Umumnya, konsumen dan kalangan pebisnis bisa menunggu berhari-hari seiring dengan proses pembuatan, pengeposan, penandatanganan, dan pengiriman balik dokumen yang dibutuhkan untuk suatu transaksi keuangan.

Kini, menurut Guido Di Gregorio, Presiden dan Chief Executive Communication Intelligence Corporation, semua proses itu dapat dipersingkat. "Saya dapat melakukan transaksi dengan kecepatan internet, menghemat biaya sampai 50%, dan merasa lebih aman dari sebelumnya," demikian promosi Di Gregorio.

Rentan Penjiplakan

Namun, ada beberapa pihak yang tidak merasa seaman Di Gregorio dan meragukan masalah keamanan bertransaksi dengan teknologi tersebut. Mike D'Amour, CEO Veridicom, mengkhawatirkan terjadinya penipuan pada tahap pendaftaran.

Sebagai contoh, ada dua kemungkinan pada tahap pendaftaran ini. Pertama, konsumen dapat diminta untuk menandatangani suatu electronic pad. Tanda tangan yang dibuat pada alat tersebut akan dibandingkan dengan tanda tangan master yang telah diverifikasi sebelumnya. Cara yang kedua, diminta memberikan password. D'Amour mengingatkan, kedua cara tersebut rentan terhadap pencurian atau penjiplakan.

Pendapat D'Amour ini didukung oleh Frank Torres, konsultan legislasi pada Consumers Union. Torres mengakui bahwa e-signatures memberikan kemudahan-kemudahan dan penghematan, tetapi aspek keamanan dan pertanggungjawabannya belum terlalu jelas. Apalagi, belum ada standar baku untuk teknologi yang mendukung sistem tanda tangan digital tersebut. "Kalau merasa tidak nyaman, jangan digunakan," saran Torres.

Bila konsumen masih tetap ingin menggunakan e-signatures, Torres selanjutnya menyarankan untuk menggunakan akal sehat dan meminta serta membaca perjanjian dalam bentuk hard copy. Hal ini karena dokumen digital lazimnya "tersembunyi" di balik beberapa "klik" dari mouse.

Saran Torres tersebut layak dipertimbangkan. Apalagi, UU yang baru itu sebenarnya tidak mewajibkan konsumen untuk menggunakan tanda tangan digital. Artinya, konsumen tetap mempunyai hak memilih, ingin yang digital atau yang "basah," yaitu yang ditulis tangan. UU baru itu hanya memberikan bobot yuridis yang lebih pada tanda tangan digital.

Selebihnya, UU itu akan memicu pertumbuhan persaingan mekanisme untuk membawa tanda tangan ke dalam era digital. Bryan Keene, analis pada Prudential Securities meramalkan, tanda tangan digital akan memimpin sebesar 80% dari keseluruhan transaksi keuangan yang akan sepenuhnya diotomatisasi dalam lima tahun mendatang.

Sidik jari digital

Sebagai alternatif, perusahaan D'Amour yaitu Veridicom, telah mengembangkan teknologi sidik jari digital. D'Amour mengklaim, teknologi ini menutup kemungkinan pencurian, pemalsuan, atau perubahan yang dapat terjadi pada tanda tangan digital. Menurut D'Amour, sidik jari adalah salah satu bagian dari identitas seseorang yang tidak dapat dipalsukan.

Cara bekerja sidik jari digital ini cukup mudah. Konsumen hanya perlu meletakkan jari mereka pada front chip yang kemudian akan menghasilkan suatu gambar sidik jari yang bersangkutan. Software pada alat sensor kemudian akan menghapus lekuk-lekuk jari yang terdapat pada gambar dan merekam titik-titik terpenting yang memberikan ciri khas suatu sidik jari yang disebut minutia.

Para pengembang teknologi tanda tangan digital maupun sidik jari digital tampaknya telah mempersiapkan diri untuk saling bersaing di masa depan. Keduanya tengah berusaha agar teknologi mereka dapat diaplikasikan melalui telepon selular dan komputer notebook.

Veridicom malah menyatakan telah menggandeng sejumlah perusahaan besar seperti AT&T, Seiko, General Electrics, Lucent dan Bell Labs. Tujuannya, untuk menanamkan modalnya dengan memanfaatkan keuntungan-keuntungan dari melakukan e-commerce secara aman. Tentunya, dengan teknologi sidik jari digitalnya.

Namun, Veridicom tampaknya belum terlalu merasa didukung oleh UU yang baru, mengingat bahwa Electronic Signature in Global and National Commerce Act itu belum menempatkan sidik jari digital dalam kedudukan hukum yang sama dengan tanda tangan digital maupun yang ditulis tangan.

Nah di Indonesia, e-signatures juga sebenarnya bisa saja dipergunakan. Namun demikian, sisi kenyamanan dan keamanannya belum bisa dijamin. Pasalnya, Undang-undang yang mengatur hal itu saja belum ada.  Lagi pula pemakaian internet belum seramai di AS. Orang juga merasa lebih afdol kalau menandangani langsung surat kontraknya. Jika sudah ada peraturannya, tentu e-signatures juga akan menjadi alternatif bagi pebisnis di Indonesia. Siapa takut?

Tags: